Protes Susi dan Perindo, 85 Ribu Nelayan Muara Baru Mogok

Tiara Sutari | CNN Indonesia
Senin, 10 Okt 2016 18:56 WIB
Ratusan kapal ditambatkan di galangan kapal Muara Baru, Jakarta Utara. Spanduk bertuliskan 'Kami Tutup Operasional' dipasang di pabrik-pabrik kawasan itu.
Ratusan kapal ditambatkan di galangan kapal. Para nelayan Muara Baru, Jakarta Utara, mogok melaut. (CNN Indonesia/Djonet Sugiarto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebanyak 85 ribu nelayan, termasuk buruh dan anak buah kapal (ABK), di Pelabuhan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, menggelar aksi mogok kerja mulai hari ini hingga satu pekan ke depan, 10-17 Oktober.

Puluhan ribu nelayan itu memprotes kebijakan Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) yang menaikkan tarif sewa lahan dari Rp236 juta menjadi Rp1,5 miliar per hektare per tahun.

Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, sejak pagi tadi tidak ada aktivitas operasional di Pelabuhan Perikanan Muara Baru yang kini berganti nama menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pabrik-pabrik pengelola ikan dan lemari pendingin (cold storage) di kawasan itu misalnya memasang spanduk bertuliskan “Kami Tutup Operasional.”

Ratusan kapal pun ditambatkan di galangan kapal Muara Baru. Kapal-kapal itu sudah tidak berlayar sejak seminggu lalu, dan akan berhenti melaut hingga satu bulan.

"Kalau operasional pabrik ini memang cuma satu minggu. Tapi untuk kapal, kami tidak akan melaut hingga satu bulan," kata Ketua Bidang Hukum Asosiasi Tuna Indonesia, Muhammad Billahmar, di Pelabuhan Muara Baru.

Kebijakan Perindo, kata Billahmar, bukan hanya merugikan pengusaha perikanan, tapi negara. Ia mengklaim Indonesia total bisa mengalami kerugian hingga US$12,5 juta.

"Kami juga tidak ingin terus-terusan mogok kerja. Tapi kami juga tidak ingin diperlakuan semena-mena," ujar Billahmar.
[Gambas:Video CNN]

Aksi mogok, selain karena kebijakan sewa lahan yang dikeluarkan Perindo, juga untuk memprotes moratorium atau penghentian sementara izin usaha perikanan tangkap di wilayah perikanan Republik Indonesia seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.

"Implementasi permen itu tidak masuk akal. Isinya menyimpang, misalnya masalah lingkup keberlakuan kebijakan itu," kata Billahmar.

Mestinya tiap wilayah perikanan memiliki kebijakan dan aturan hukum masing-masing.

"Misalnya untuk laut lepas diatur dalam Permen 12/2012, sedangkan untuk wilayah perikanan RI diatur dalam Permen 30/2012. Tapi karena kebijakan ini (yang dikeluarkan Menteri Susi tahun 2014), tidak tahu mana yang laut lepas atau bukan, semua dipukul rata,” ujar Billahmar.

Sementara soal moratorium izin usaha perikanan tangkap, menurut Billahmar, mengancam para pengusaha dan pemilik kapan untuk menghentikan operasi usaha mereka selamanya.

"Ditutup tapi bukan bangkrut. Apalagi  setelah keluar kebijakan yang meminta agar kapal-kapal yang menurut Bu Menteri adalah kapal eks asing untuk dihapus dari daftar di Kementerian Perhubungan. Kapal-kapal itu benar-benar tak beroperasi, padahal belum tentu eks asing,” kata Billahmar.
Billahmar berpendapat, KKP seharusnya segera menerbitkan peraturan baru agar para pelaku usaha perikanan nasional bisa kembali menjalankan aktivitas operasionalnya.

"Dari awal juga kami sepakat hanya pemodal WNI yang menanam modal untuk perusahaan perikanan. Kami juga tahu maksud kebijakan ini untuk kemajuam Indonesia. Tapi pikirkan semua kemungkinan jangka panjang maupun pendek, jangan bertindak semena-mena," kata dia.

Moratorium kapal eks asing atau larangan beroperasi sementara bagi kapal-kapal produksi luar negeri di Indonesia, dibuat KKP untuk mendorong industri perkapalan nasional. Namun ternyata nelayan merasakan dampak negatif dari kebijakan itu. (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER