Halusinasi Paradigma Hukum di Dua Tahun Pemerintahan Jokowi

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Kamis, 20 Okt 2016 06:52 WIB
Tahun pertama, Jokowi fokus konsolidasi politik. Tahun kedua, langsung melompat ke masalah ekonomi. Agenda hukum dinilai masih terabaikan.
Dua tahun Joko Widodo menjabat sebagai presiden, agenda reformasi dan penegakan hukum di Indonesia dianggap masih terabaikan. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dua tahun Joko Widodo menjabat sebagai presiden, agenda reformasi dan penegakan hukum di Indonesia dianggap masih terabaikan.

Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchtar menganggap, ada kesalahan paradigma dalam pendekatan kebijakan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi.

"Jokowi-JK dalam dua tahun ini mengalami halusinasi paradigma. Jadi dia tidak melihat paradigma bagaimana membangun negara dengan tepat. Penguatan ekonomi itu membutuhkan hukum yang mapan," kata Zainal di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (18/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Senada dengan itu, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Saldi Isra, agenda hukum belum menjadi fokus pemerintahan Jokowi.

Menurut Saldi, pada satu tahun pertama, Jokowi terlihat lebih fokus pada konsolidasi politik. Terpantau dari upaya Jokowi membongkar pasang sejumlah posisi penting di instansi krusial pemerintahan.

Kemudian pada tahun kedua, kata Saldi, fokus Jokowi justru langsung melompat ke masalah ekonomi dengan sejumlah paket kebijakan dan diberlakukannya tax amnesty.

Pada tahun kedua ini, menurut Saldi, memang ada agenda hukum yang dijalankan, seperti pembatalan 3.143 peraturan daerah yang menghambat investasi kemajuan ekonomi, serta kebijakan pemberantasan pungutan liar (pungli).

Namun, Saldi mengatakan bahwa kedua poin itu tak sebanding dengan cita-cita besar yang diusung dalam Nawacita, khususnya butir keempat.

"Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya," demikian bunyi butir keempat Nawacita.

Menurut Saldi, Nawacita sebenarnya merupakan satu haluan kebijakan yang paling komprehensif dari Jokowi. Namun sayang, kata Saldi, hingga saat ini Jokowi belum memberikan perhatian penuh terhadap butir keempat ini.

Saldi mengatakan, untuk mengamalkan butir keempat dari Nawacita ini, setidaknya ada tiga hal yang harus diperbaiki, yaitu substansi hukum, aparatur hukum, dan budaya hukum.

"Soal aparatur penegak hukum, aparat hukum yang berada di bawah presiden, perhatian terhadap mereka masih jauh di bawah," kata Saldi.

Momen Kritis KPK

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M. Syarif mengamini pernyataan Saldi. Laode kemudian menyinggung masalah yang menerjang tubuh KPK secara bertubi-tubi pada 2015.

Laode tak memaparkan secara gamblang masalah yang menerpa KPK tersebut. Namun menurutnya, momen itu krusial dalam membuktikan komitmen Jokowi dalam memberantas korupsi.

"Sejak KPK ada dari 2003 sampai 2015, tahun 2015 lah yang paling kritis bagi KPK. Kalau tidak di-backup oleh civil society, KPK mungkin tidak ada. Situasi itu paling penting bagi Jokowi-JK," tutur Laode.

Pada 2015, dua eks komisioner KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dijadikan tersangka. Tak hanya itu, penyidik andalan KPK, Novel Baswedan, juga terseret dalam kasus lawas saat dia masih menjabat Direskrim Polda Bengkulu.

Rangkaian masalah KPK ini disebut-sebut sebagai upaya kriminalisasi terhadap lembaga anti-rasuah tersebut.

Selain masalah itu, Laode mengatakan bahwa dari ranah substansi hukum sendiri, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pemerintahan Jokowi.

"Banyak sekali substansi hukum yang bertentangan satu dengan yang lain. Karena itu, Kemkumham harus sering-sering bicara tentang ini agar tidak ada hukum yang saling tumpang tindih," tutur Laode. (rel/abm)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER