Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Jenderal (Purn) Wiranto memperpanjang setahun masa kerja Tim Terpadu Penyelesaian Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua.
“Surat Keputusan sudah diperbarui. Tim akan dilanjutkan sampai Oktober 2017. SK baru itu disampaikan sekitar dua hari lalu,” kata Matius Murib, aktivis HAM Papua yang menjadi anggota tim, kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (26/10)
Masa kerja Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Papua semula berakhir kemarin, namun diperpanjang karena kerja mereka belum rampung, dan belum terlihat hasil konkrit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Anggota tim akan dievaluasi. Ada yang sama (tetap menjadi anggota), ada orang baru,” ujar Matius.
Saat ini tim lebih banyak menggelar berbagai rapat koordinasi untuk mendengar perkembangan penyelidikan tiap kasus, termasuk penjelasan dari institusi terkait seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Terdapat 13 kasus yang telah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM di Papua, dengan tiga kasus pelanggaran HAM berat pascatahun 2000 mendapat prioritas, yakni Peristiwa Wasior pada 2001, Peristiwa Wamena pada 2003, dan Peristiwa Paniai 2014.
Tragedi Wasior diawali dengan terbunuhnya lima orang anggota Brimob dan seorang sipil di Desa Wondiboy, Teluk Wondama, pada 13 Juni 2001. Perburuan terhadap pelaku lantas digelar TNI dan Polri.
Selama proses pengejaran tersebut diduga terjadi beragam tindak kekerasan dengan empat orang korban terbunuh, 39 orang disiksa, seorang diperkosa, dan lima orang dihilangkan paksa.
Tragedi Wamena terjadi pada April 2003 ketika kota itu dilanda kerusuhan besar. Peristiwa ini diduga menyebabkan sembilan orang terbunuh termasuk aparat, dan 38 orang luka dan cacat.
Sementara Tragedi Paniai pada 8 Desember 2014 diawali ketika sekitar 800 orang warga menggelar aksi protes di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, atas dugaan penyiksaan seorang anak 13 tahun oleh aparat sehari sebelumnya, dan dugaan penyiksaan dua orang sipil pada Mei 2010.
Namun demonstrasi tersebut berbuah musibah ketika empat pelajar tewas. Mereka diduga ditembak militer. Pada peristiwa itu, 17 orang lainnya mengalami luka-luka.
Aparat sempat mengatakan, pemicu bentrokan ialah karena ratusan warga Paniai memblokade jalan umum saat berunjuk rasa sehingga mengganggu lalu lintas.
Menurut Mayjen Fransen Siahaan yang saat itu menjabat Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, warga membawa panah, melempari Kantor Komando Rayon Militer dan Kantor Polsek, sehingga anggotanya berhamburan keluar dan membela diri dengan menembak ke atas.
 Aksi penyerahan koin sedekah kepada Komnas HAM sebagai bentuk dukungan untuk melakukan penyelidikan lanjutan atas perkara Paniai Berdarah. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Atas tiga kasus tersebut, juga 10 dugaan perkara pelanggaran hak asasi manusia di Papua lainnya, Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Papua mendesak penyelesaian lewat jalur hukum dan politik.
“Lakukan penegakan hukum sesuai sistem yang berlaku, dan upayakan langkah politik lewat DPR RI untuk menetapkan apakah kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 masuk kategori pelanggaran HAM atau kriminal biasa,” kata Matius.
Tim juga meminta Kejaksaan Agung untuk mempercepat proses atas kasus-kasus yang dikategorikan pelanggaran HAM, dan segera melakukan gelar perkara.
Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Papua dibentuk pemerintah Jokowi saat Menko Polhukam dijabat oleh Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan. Tim bekerja di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.
“Mereka bekerja dengan transparan. Siapa saja boleh melihat prosesnya. Duta-duta Besar negara lain bisa jadi observer. Data terbuka,” kata Luhut, pertengahan Juni, seperti dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet RI.
Ia menjamin tim bekerja independen meski berkoordinasi dengan Kemenko Polhukam.
Menko Polhukam yang kini dijabat Wiranto, pada awal Oktober menyatakan, pemerintah tak lama lagi akan menyelesaikan perkembangan terkait upaya penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua.
“Akan kami jelaskan apa yang sudah diselesaikan. Mana yang masuk pelanggaran HAM berat dan mana yang tidak. Kemudian penyelesaiannya seperti apa, supaya tidak ada prasangka buruk bahwa pemerintah seakan membiarkan,” kata Wiranto.
Mantan Panglima ABRI itu mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua bukan hal mudah karena peristiwa terjadi pasa masa lalu. Namun menurutnya, pemerintah berkomitmen untuk menuntaskannya.
(agk/asa)