Keluarga Korban Paniai Desak PBB Datang ke Papua

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Selasa, 25 Okt 2016 20:46 WIB
Keterlibatan PBB diharapkan dapat memecah kebuntuan penyelesaian kasus Paniai yang ditangani Pemerintah Indonesia.
Keterlibatan PBB diharapkan dapat memecah kebuntuan penyelesaian kasus Paniai yang ditangani Pemerintah Indonesia. (CNNIndonesia/Yohannie Linggasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarga korban peristiwa Paniai, Papua, mendesak pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) datang ke daerah mereka untuk menginvestigasi kasus pelanggaran HAM tersebut.

Mereka berharap keterlibatan PBB dapat memecah kebuntuan penyelesaian kasus Paniai oleh Pemerintah Indonesia.

“Untuk mengungkapkan kebenaran kasus Paniai, kami meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia dapat mengizinkan pelapor khusus PBB masuk ke Papua, lebih khususnya di Paniai,” tulis pihak korban dalam surat pernyataan sikap yang ditandatangani di Enarotali, Paniai, Minggu (16/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keluarga korban itu terdiri dari keluarga Yulian Yeimo; keluarga Simeon Degei; keluarga Piusyouw; keluarga Okto A Gobai.

Peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014 saat warga sipil melakukan aksi protes di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai. Empat pelajar tewas ditembak pasukan gabungan militer RI. Sementara 17 orang lainnya luka-luka akibat peristiwa itu. 

Perwakilan keluarga empat korban, beberapa saksi, aktivis HAM, dan pimpinan gereja Kabupaten Paniai meneken pernyataan sikap yang ditujukan kepada Pemerintah Indonesia, Sekjen PBB, Dewan HAM PBB, negara-negaa pasifik, dewan gereja dunia dan sejumlah lembaga HAM.

Dalam pernyataannya, mereka meminta Komnas HAM, Panglima TNI, serta Kapolri segera mengumumkan pelaku peristiwa Paniai sesuai hasil investigasi yang telah dilakukan sebelumnya. Karena itu mereka menolak kehadiran Tim Ad Hoc Komnas HAM yang berencana melakukan penyelidikan kedua kalinya. 

Diketahui, upaya penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua dinilai banyak yang tidak tuntas. Hal itu menjadi pelajaran bagi mereka untuk mengawal proses penyelesaian kasus Paniai.

Mereka menyebut beberapa kasus pelanggaran HAM di Wamena dan Wasior yang dinilai berhenti saat ini. Padahal hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kedua kasus tersebut telah diserahkan ke Kejaksaan Agung.

Kasus lainnya, Mayjen Hartomo yang pernah diadili atas kasus tewasnya tokoh Papua Theys Hiyo Eluay, kini justru dipromosikan menjadi kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.

Selain kasus tersebut, pelaku penembakan warga Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Otinus Sondegau (19) oleh Brimob, hanya divonis 21 hari. Dengan putusan itu, keluarga korban menilai nyawa Otinus tidak ada harganya sama sekali.

“Kami tidak mau sakit hati seperti yang dialami oleh kasus Wamena, Wasior, Theys, dan kasus Otinus Sondegau," demikian pernyataan keluarga korban dalam surat itu.

"Kasus Paniai juga akan sama seperti kasus lain, maka itu kami memohon dengan hormat Pelapor Khusus PBB segera ke Paniai."
Aksi protes untuk mendesak penyelesaian kasus HAM di Paniai. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)Foto: CNN Indonesia/Christie Stefanie
Aksi protes untuk mendesak penyelesaian kasus HAM di Paniai. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Negara Melindungi Pelaku

Di tempat terpisah, Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menyebut pemerintah selama ini melindungi pelaku peristiwa Paniai Berdarah. Padahal menurutnya, kasus tersebut telah menjadi isu pelanggaran HAM yang mendunia, serta menjadi memori buruk bangsa Melanesia di Papua.

Natalius mengatakan, selama ini Komnas HAM telah mengirim surat ke Menko Polhukam terkait hasil penyelidikan yang diminta oleh pihak keluaga korban. Hasil penyelidikan yang tak kunjung diumumkan disebut Natalius sebagai upaya melindungi pelaku peristiwa Paniai.

“Pemerintah tidak mau mengumumkan, bahkan terkesan menutupi pelaku. Kasus Paniai ini letak kesalahannya ada di pemerintah,” ujar Natalius, Selasa (15/10).

Menurutnya, masyarakat Paniai mulai belajar dari pengalaman kasus lain. Sejumlah kasus di Papua belum pernah terungkap dengan jelas karena TNI dan Polri tidak pernah mengumumkan pelakunya.

Satu-satunya jalan keluar, kata Natalius, TNI dan Polri harus mengumumkan hasil penyelidikannya. Setelah hal itu dilakukan dan pelakunya telah diketahui, Komnas HAM baru bisa melakukan penyelidikan pro justisia berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang HAM berat.

“Alat bukti untuk menunjukkan orang (pelaku) sulit diketahui, kecuali komandan atau kesatuannya saja yang bisa kami tahu, tetapi pelaku akan sulit, lain halnya kalau TNI dan Polri tunjuk (pelaku) atau pelaku mengaku sendiri, autopsi," katanya.

Dia menyebutkan, hampir seluruh kasus hasil penyelidikan Komnas HAM yang dibawa ke pengadilan, kata Natalius, pelakunya pasti dibebaskan. 

"Bahkan berkas yang ada saat ini di Komnas HAM, semua bukti tidak ada yang kuat termasuk kasus Wamena Berdarah dan kasus Wasior," katanya. 

Natalius mengatakan, Komnas HAM mengapresiasi masyarakat Paniai yang konsisten meminta TNI dan Polri mengumumkan pelakunya. Keluarga korban kasus Paniai Berdarah tidak mau mengalami hal yang sama dengan kasus lain di Papua. Mereka menginginkan para pelaku diberi hukuman berat sesuai UU Nomor 26 tahun 2000. 

"Kasus Paniai Berdarah ditanya oleh siapa pun termasuk dunia internasional, yang menutupi pelaku dan tak mau buka hasil penyelidikan itu Menko Polhukam atau pemerintah," ujar Natalius.

Komisioner asal Papua ini menanggapi rencana sejumlah pihak, termasuk oknum Komnas HAM yang ingin melakukan penyelidikan kedua di Paniai. Natalius menyebut penyelidikan itu sarat muatan politik, bukan murni kepentingan penuntasan kasus pelanggaran HAM.

"Saya menduga negara dengan sadar dan sengaja menutupi pelaku sembari memaksa Komnas HAM melakukan penyelidikan, itu sebuah pembohongan kepada keluarga korban karena hasilnya pelaku tidak akan ketahuan di pengadilan," kata Natalius.

Menko Polhukam sebelumnya, Luhut Binsar Pandjaitan, telah membentuk tim terpadu untuk mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat. Tim tersebut menentukan kriteria pelanggaran HAM yang dibuat secara imparsial dan terukur. (asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER