Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat Pulau Romang di wilayah barat daya Provinsi Maluku, yang berprofesi sebagai nelayan dan petani, merasa dirugikan dengan penambangan emas oleh PT Gemala Borneo Utama (GBU).
Praktik tambang yang telah berjalan selama kurang lebih 10 tahun itu, diduga telah merusak lingkungan dan kondisi air di tempat tinggal mereka. Air jadi keruh, tanaman pun kekeringan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan sejumlah dugaan pelanggaran akibat praktik tambang tersebut.
Staf Divisi Advokasi Hak Ekonomi Sosial Budaya KontraS, Rivanlee Anandar mengatakan praktik tambang tersebut menimbulkan kerusakan pada beberapa jenis tanaman seperti cengkeh dan pala.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu agar-agar laut yang sebelumnya melimpah, kini tak ada lagi. Praktik tambang ini, kata dia, juga diduga berdampak pada berkurangnya hasil madu di sekitar lokasi penambangan akibat bisingnya suara dari alat penambangan.
“Padahal mayoritas masyarakat di sana bekerja sebagai petani dan nelayan yang sangat bergantung pada kondisi alam,” ujar Rivanlee dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Jumat (9/12).
Praktik tambang ini, lanjutnya, juga menimbulkan bau gas yang tak sedap pada salah satu lubang mata bor di salah satu lokasi pengeboran di Desa Hila.
Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK25/Menhut-II/2012 tentang IPPKH untuk kegiatan eksporasi emas PT GBU, telah diatur jarak antartitik bor 40 meter, diameter lubang bor 2,5-5 sentimeter, kedalaman lubang bor 150 meter, dan rencana titik bor sebanyak 60 buah.
Namun faktanya beberapa titik bor hanya berjarak kurang lebih 10 meter. Debit air di kawasan tersebut juga berkurang dan membuat keruh air.
Tak hanya masalah lingkungan, Rivanlee juga menemukan fakta bahwa penambangan ini memicu konflik internal antarwarga. Menurutnya, hampir 90 persen warga tak setuju dengan praktik tambang tersebut.
Penilaian Lingkungan
Melalui keterangan resminya, Robust Resources Limited yang membeli saham 22,5 persen PT Kilau Sumber Perkasa—induk dari PT Gemala Borneo Utama, menyatakan pihaknya terus melakukan program lingkungan berkaitan dengan air, tanah dan udara. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari penilaian lingkungan dari perusahaan dan rencana pengelolaan.
Hal itu dipaparkan dalam laporan resmi Robust Resources Limited pada 2011, yang menyertakan bahwa pihaknya melibatkan konsultan profesional dan Dinas Lingkungan Hidup setempat. Pelibatan keduanya terkait dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebelum melakukan penambangan.
“Pemerintah Indonesia menyaratkan Amdal sebelum keputusan apa pun untuk pertambangan disetujui, dan hal itu serupa dengan Environmental Impact Statement di Australia,” demikian keterangan resmi perusahaan.
Dugaan Kekerasan
Sayangnya, kata dia, pihak keamanan PT GBU kerap melakukan tindakan intimidatif seperti ancaman, pemukulan, hingga dugaan pembunuhan pada warga yang menolak.
“Warga ada yang pro dan kontra. Kalau yang pro itu biasanya dekat dengan aparat desa. Sementara yang kontra ada 90 persen,” katanya.
Saat ini, warga setempat tengah mengumpulkan tanda tangan untuk menyambut tim ahli dari Gubernur Maluku yang akan meninjau dampak penambangan pada Desember ini.
Pihaknya pun mendesak agar Pemda segera membuat kajian lingkungan hidup strategis dan mengevaluasi kebijakan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil di Pulau Romang.
Berdasarkan catatan KontraS, pertambangan di Pulau Romang bukan sekali ini saja dilakukan. Pada tahun 1988 hingga 1992, PT MuswellBrook Mining bekerja sama dengan PT Ashton Mining pernah melakukan eksplorasi di Pulau Romang namun tak ada kelanjutannya.
Selanjutnya PT GBU yang merupakan anak perusahaan Robust Resources melakukan perjanjian kontrak untuk mengeksplorasi areal tambang seluas 25 ribu hektar dari keseluruhan Pulau Romang pada tahun 2008.
Saat itu PT GBU telah mengantongi sejumlah surat rekomendasi yang ditandatangani oleh bupati Maluku Barat Daya saat itu.
(pmg/asa)