'Duel Maut' Menggerus Paham Terorisme

CNN Indonesia
Selasa, 17 Jan 2017 19:15 WIB
Redivis terorisme yang mengulang kembali perbuatannya selepas penjara, memunculkan pertanyaan keberhasilan program deradikalisasi.
Masyarakat berdemo menolak gerakan terorisme di Indonesia pasca bom Thamrin 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hampir dua tahun lepas dari kehidupan penjara, Juhanda alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia, 32 tahun, kembali melancarkan aksi terornya.

Pelaku teror bom Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Tangerang pada 2011 itu, melemparkan sebuah bom molotov ke tempat parkir di Gereja Oikumene, Samarinda, pada November lalu.

Aksi Jo membuat lima bocah yang sedang bermain terkena ledakan bom. Seorang balita meninggal dan bocah lainnya menjalani perawatan intensif akibat luka bakar yang parah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Penjara tidak menjadikan para narapidana terorisme ini jera dan putus dengan dunia luar,” kata Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, beberapa waktu lalu.

Jo pernah menjalani hukuman pidana 3,5 tahun pada 2012 dan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 Juli 2014.

Saat menjalani kehidupan di penjara Kelas 1 di Tangerang, Banten, Jo berguru kepada narapidana terorisme, Abrory Ali.

Abrory merupakan pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Khilafiah Umar Bin Khatab di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. Dia divonis 17 tahun karena dianggap sebagai pelaku utama di balik ledakan bom rakitan di ponpes pimpinannya pada 11 Juli 2011.

Menurut analisis Institute for Policy and Analysis Conflict (IPAC), Jo yang merupakan yatim piatu dan tanpa istri, menemukan keluarganya lewat kelompok Abrory cs. Kelompok napi teroris ini juga yang memberikan keamanan dan kesempatan berdagang di penjara.

“Bahkan, teman-teman teroris ini menjodohkan Jo dengan seorang janda dan patungan untuk pernikahannya di penjara pada 2013,” bunyi laporan IPAC yang terbit Desember 2016. 

Bukan hanya Jo, residivis kasus teror yang menjadi kambuhan. Berderet pelaku lain yang menempuh jalan yang sama setelah keluar dari penjara.
Sunakim alias Afif, salah satu pelaku bom Thamrin 2016, pernah dipenjara kasus pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh. Afif yang divonis tujuh tahun, menjalani masa tahanan bersama dengan pemimpin Jamaah Anshar Daulah (JAD), Aman Abdurahman.

Aman yang disebut sebagai pemimpin de facto kelompok ISIS di Indonesia, menjadi mentor bagi Afif saat keduanya hidup di LP Cipinang. Afif diajari soal radikalisme saat menjadi tukang urut Aman.

Sejak 2011, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjalankan program deradikalisasi yang ditujukan kepada orang-orang yang terpengaruh paham radikal sehingga meredakan niatnya melakukan kejahatan.

Selain menyasar para narapidana terorisme di lembaga pemasyarakatan, program deradikalisasi ditujukan kepada masyarakat luar penjara yang terpapar paham radikal.

Redivis terorisme yang mengulang kembali perbuatannya selepas penjara, memunculkan pertanyaan keberhasilan program deradikalisasi.

'Duel Maut' Menggerus Paham TerorismeCNN Indonesia/Laudy Gracivia

Resistensi napi terorisme

Kepala BNPT Komisaris Jenderal Suhardi Alius menyatakan hambatan yang dialami lembaganya dalam program deradikalisai. Salah satunya, karena para napi kerap menolak program deradikalisasi yang dijalankan di lapas. 

"Di dalam lembaga pemasyarakatan saja masih banyak yang kukuh, masih keras dengan ideologi yang diyakininya," kata Suhardi Alius di Batam kepada wartawan, Desember lalu.

Pemimpin ISIS di Indonesia, Aman Abdurahman, adalah salah satu orang yang kokoh dalam mempertahankan ideologinya. Aman masih leluasa mengendalikan berbagai teror dari bilik penjara.

Kekukuhan Aman diceritakan oleh Abdurahman Ayub, mantan pemimpin Jamaah Islamiyah wilayah Australia periode 1997-2002. Setelah insyaf, Ayub membantu BNPT dalam program deradikalisasi.

Ayub pernah mendampingi ulama asal Yordania, Syeikh Ali Hasan Al-Halabi saat berdakwah ke Nusakambangan. Kepada Al Halabi, Aman enggan berbicara dan menanggapi diskusi.

"Aman Abdurrahman sempat keras, namun ditegur oleh napi lainnya, yang mengatakan 'jangan hiraukan dia, terus bicara syeikh'. Mungkin Aman khawatir dia kalah debat di depan pengikutnya sehingga tidak terjadi dialog yang panjang," kata Ayub beberapa waktu lalu.

Resistensi serupa dilakukan oleh Abrory Ali, guru pengajian Juhanda, pelaku bom Samarinda. Selama menjalani kehidupan di lapas Tangerang, Abrory membentuk pengajian dengan anggotanya mencapai 50 napi.

Abrory yang berbaiat dengan ISIS ini melarang murid pengajiannya menjalankan sholat Jumat di masjid di kawasan penjara. Abrory menghindari para murid terpapar dakwah dari khatib yang ditentukan oleh pihak lapas.

Setelah pihak lapas mengetahui aktivitas Abrory, pada akhir 2013, barulah dia dipindahkan ke Nusakambangan.
Menurut IPAC, penjara kini menjadi tempat persebaran paham ISIS, akibat semakin banyaknya kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang anti-ISIS keluar penjara. Orang-orang yang melakukan kontra pemikiran terhadap ISIS pun semakin sedikit. Padahal hal ini penting untuk meredam paham itu berkembang di penjara. 

Selain itu, pengawasan terhadap napi terorisme ini lemah karena kondisi penjara yang melebihi kapasitas.

Para narapidana terorisme yang berhubungan dengan kasus pidana umum dimanfaatkan untuk menularkan paham radikal mereka.

BNPT pernah mengusulkan penjara khusus di kompleks Sentul, Jawa Barat sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga kini, belum ada realisasi.

'Duel Maut' Menggerus Paham TerorismeLP Pasir Putih merupakan penjara dengan tingkat keamanan tertinggi di Nusakambangan. (CNN Indonesia/Rosmiyati Dewi Kandi)
Deradikalisasi yang tak mudah

Ali Fauzi Manzi, mantan anggota kelompok teroris Moro Islamic Liberation Front/MILF, mengatakan proses deradikalisasi tidaklah mudah. Ali yang meninggalkan kelompok teroris kini kerap membantu program deradikalisasi yang dijalankan BNPT.

“Mengubah keyakinan memerlukan waktu, seperti halnya ketika mereka masuk organisasi ekstrimis, maka mengeluarkannya memerlukan tahapan yang panjang,” kata Ali kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.

Ali mengatakan dari pengalaman dia direkrut dan bergabung menjadi anggota kelompok teror memerlukan masa panjang. Ali pernah belajar merakit bom hingga ke Mindanau, Filipina. Di sana dia diajari berbagai teknik membuat bom dan operasi perang.

Dari Filipina, Ali kembali ke Indonesia dan Malaysia dan kemudian ditunjuk sebagai Kepala Instruktur Perakitan Bom Jama’ah Islamiyah Wakalah Jawa Timur. Tahun 2000 Ali keluar dari JI, dan bergabung dengan Kompak (Komite Penanggulangan Krisis) dan tertangkap pada 2004.

“Selama di penjara, terjadi pergolakkan batin pada diri saya. Saya tidak menyangka, dalam kondisi kemarahan rakyat padanya, masih diperlakukan manusiawi, terutama oleh kepolisian,” kata Ali.

Ali kerap berdiskusi dengan para anggota teroris atas kesadaran pribadi. Kata dia, pendekatan kepada anggota Jamaah Islamiyah (JI) atau ISIS dengan pola yang sama.

“Asalkan mereka terbuka dan bisa diajak berdiskusi,” kata Ali.
Ali kerap bertemu anggota teroris baik yang menjalani hukuman penjara atau bukan. Menurut dia, tak ada patokan waktu yang dibutuhkan dalam proses deradikalisasi. Proses deradikalisasi dapat berjalan dalam waktu tahun atau bulan.

“Tidak ada kepastian waktu yang dibutuhkan, tergantung kondisi psikologis dan juga keilmuan yang bersangkutan,” kata dia.

BNPT menyebut mantan narapidana terorisme yang sudah bertaubat berjumlah 530 orang di 17 provinsi. Hingga kini, masih terdapat 222 narapidana terorisme di lembaga pemasyarakatan yang dibina badan tersebut.

Salah satu cerita keberhasilan deradikalisasi adalah perubahan yang dialami Toni Togar, pelaku penyerangan sebuah bank di Deli Serdang, Sumatera Utara beberapa tahun lalu.

Selepas dari penjara, BNPT mengajak Toni bekerja sama membangun masjid dan pondok pesantren antiradikalisasi.

Selain Tony, BNPT juga berhasil mendekati dan bekerjasama dengan jejaring kelompok teror Jamaah Islamiyah, di antaranya Ali Imron (pelaku bom Bali 2002), Nasir Abbas (pimpinan JI), Abdurahman Ayub (pimpinan JI Australia).

Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, selama ini lembaganya menggandeng tokoh agama, psikolog, tokoh masyarakat, dan akademisi untuk membina para narapidana terorisme di 68 lapas seluruh Indonesia.

Menurut Irfan, upaya deradikalisai tak maksimal jika hanya dilaksanakan oleh BNPT.

“Sinergi seluruh komponen bangsa dan semua lapisan masyarakat sangat menentukan keberhasilan program deradikalisasi,” kata Irfan.

[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER