Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi menolak permohonanan uji materi tentang aturan perbuatan tercela calon kepala daerah yang diatur pasal 7 ayat 2 huruf i dan pasal 45 ayat 2 hurut b angka 4 pada UU 1/2015 tentang Pilkada. Pemohon perkara itu adalah perorangan bernama Suta Widhya.
Majelis hakim konstitusi mengatakan, isi permohonan uji materi yang teregistrasi dengan nomor perkara 2/PPU-XV/2016 tersebut kabur atau tidak jelas.
"Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan, mahkamah berpendapat permohonan pemohon kabur," kata Ketua MK Arief Hidayat di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (28/2).
Januari lalu, saat menjalani sidang perdana, Suta menyebut calon kepala daerah yang pernah melakukan perbuatan tercela tidak patut menjadi peserta pilkada. Ia beralasan, calon yang masuk dalam kategori itu kontradiktif dengan semangat bela negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suta menjadikan kasus dugaan penistaan agama yang menjerat calon gubernur petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebagai contoh. Ia berargumen, perbuatan yang dituduhkan kepada Ahok itu tercela dan Ahok sepatutnya tidak dapat bersaing di pilkada.
Keikutsertaan calon kepala daerah yang pernah melakukan perbuatan tercela, kata Suta, bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Pada draf putusan, hakim konstitusi menganggap uraian tersebut tidak jelas. Mereka juga menyatakan Suta tidak memiliki kedudukan hukum (
legal standing).
"Selain ketidaksesuaian atau koherensi antara norma UU yang dimohonkan dan petitum, mahkamah juga menemukan ketidakjelasan perihal kualifikasi pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya," kata Arief.
Majelis hakim konstitusi secara bulat tidak menerima permohonan yang diajukan Suta. "Mahkamah berpendapat permohonan pemohon kabur sehingga tidak dapat diterima," kata Arief.
(abm/yul)