Jakarta, CNN Indonesia -- Panitia seleksi calon hakim konstitusi akan fokus meneliti dan mempertimbangkan rekam jejak tokoh yang bersaing memperebutkan satu kursi hakim MK. Rekam jejak vital untuk menentukan kadar integritas para peserta seleksi.
Ketua pansel hakim konstitusi Harjono mengatakan, penelusuran rekam jejak didasarkan pada masukan masyarakat serta instansi formal seperti KPK dan PPATK. Ia berkata, pansel akan merahasiakan data rekam jejak yang mereka terima.
"Uji integritas paling sulit ditentukan. Oleh karena itu, rekam jejak penting dan kami mengharapkan masukan masyarakat," ujar Harjono kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (23/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain rekam jejak, pansel akan menguji integritas para calon melalui wawancara terbuka. Harjono berkata, pada tahap itu, timnya akan menggali penilaian dan sikap peserta seleksi terhadap sejumlah permasalahan.
Peserta yang nantinya terpilih diwajibkan menandatangani pakta integritas sebagai bentuk tanggung jawab mengemban amanah hakim konstitusi.
"Pakta integritas ini menjadi pengingat, bahkan kalau bisa ditempel di kamarnya. Godaan itu ada setelah menerima kekuasaan," kata Harjono.
Di luar uji integritas, pansel meminta para calon hakim konstitusi membuat karya tulis berupa analisis putusan MK minimal 10 halaman. "Kami berharap calon yang tertarik menjadi hakim enggak 'buta' sama sekali soal MK," ucap Harjono.
Seleksi calon hakim konstitusi ini, terbuka bagi seluruh warga negara Indonesia berlatar belakang doktor. Namun, para peserta harus memegang status sarjana strata satu ilmu hukum.
"Calon hakim itu gelarnya doktor apapun, tidak harus hukum tata negara. Yang penting sarjananya ilmu hukum," tutur Harjono.
Pansel yang dipimpin Harjono beranggotakan Maruarar Siahaan, Wakil Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta, akademisi Universitas Sumatera Utara Ningrum, dan advokat senior Todung Mulya Lubis. Harjono dan Maruarar merupakan mantan hakim konstitusi.
Presiden Joko Widodo membentuk pansel untuk mencari pengganti hakim Patrialis Akbar yang baru saja diberhentikan secara tidak hormat karena terjerat perkara suap.
Patrialis diduga menerima gratifikasi saat memeriksa perkara ujji materi UU 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
(abm/sur)