Jakarta, CNN Indonesia -- Rapat paripurna ke-9 Dewan Perwakilan Daerah resmi menetapkan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD baru. Oso, sapaan Oesman, terpilih secara aklamasi menggantikan Muhammad Saleh.
Selain Oso, dua nama lainnya yakni Nono Sampono dan Darmayanti Lubis juga terpilih sebagai Wakil Ketua DPD baru menggantikan GKR Hemas dan Farouk Muhammad.
Proses terpilihnya Oso, yang kini masih menjabat sebagai Wakil Ketua MPR, sebagai Ketua DPD terbilang dramatis. Sidang harus melalui dua kali skors paripurna serta kericuhan antaranggota DPD yang pro dan kontra dengan pemilihan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para senator yang tidak sepakat menilai proses pemilihan Ketua DPD baru menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung. Dalam putusan MA Nomor 20 P/HUM/2017 tertanggal 29 Maret 2017 menyatakan, Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam putusan itu, MA memerintahkan pimpinan DPD untuk mecabut Tatib DPD 1/2017 karena bertentangan dengan UU Nomor 12/211 tentang Pembentukan Peranturan Perundang-Undangan.
MA berpendapat, masa jabatan pimpinan DPD seharusnya sama dengan DPR dan MPR karena sama-sama merupakan lembaga perwakilan yaitu selama lima tahun, bukan 2 tahun 6 bulan sebagaimana diatur dalam Tatib DPD 1/2017.
Di sisi lain, kubu yang pro terhadap keterpilihan Oso memandang, proses pemilihan Ketua DPD harus dilakukan karena tidak ada paripurna yang membatalkan hasil rapat Panitia Musyawarah 9 Maret 2017. Dalam rapat Panmus itu disebutkan bahwa DPD akan menggelar pemilihan Ketua DPD baru pada tanggal 3 April 2017.
Pemilihan itu dilakukan lantaran mereka meyakini bahwa putusan MA tidak serta merta menggugurkan masa jabatan seluruh pimpinan DPD lama yang habis masa jabatan pada 31 Maret 2017. Masa jabatan itu sesuai dengan Tatib DPD 1/2016 dan Tatib DPD 1/2017.
 Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Farouk Muhammad (ketiga kanan) dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas (keempat kiri) memimpin Sidang Paripurna DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/4). (Antara Foto/Puspa Perwitasari) |
Di tengah perdebatan itu, timbul masalah baru di tengah masyarakat atas terpilihnya Oso sebagai Ketua DPD. Publik menilai, DPD tidak sepantasnya diisi oleh kalangan yang berasal dari unsur partai politik. Publik khawatir kepentingan daerah akan terabaikan jika politikus masuk ke dalam DPD, terlebih lagi menjabat sebagai ketua.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik dari Universitas Paramadina Toto Sugiarto menyebut kekhawatiran masyarakat terhadap nasib DPD ke depan adalah sebuah keniscayaan. Ia mengatakan, kehadiran Oso di tubuh DPD telah menghilangkan jati diri DPD yang sebenarnya, yaitu perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Menurut Toto, DPD seharusnya tidak diisi oleh senator yang berafiliasi dengan partai politik. Meski saat ini sejumlah anggota DPD telah menyatakan diri masuk ke dalam parpol, kata Toto, hal tersebut tetap tidak dapat ditoleransi.
“Terpilihnya Pak Oso ini adalah perkembangan negatif karena merupakan Ketua Partai Hanura. Jadi ini sudah menyalahi lahirnya DPD itu sendiri. DPD itu adalah perwakilan daerah yang tidak partisan,” ujar Toto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/4).
Jika ditelisik lebih jauh, UU MD3 memang tidak secara tegas melarang anggota DPD berasal dari anggota partai politik. Dalam pasal 256 UU MD3 hanya menyebutkan bahwa anggota DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilu.
Lain halnya dengan keanggotaan DPR yang secara tegas disebutkan terdiri atas anggota parpol peserta pemilu yang dipilih melalui pemilu. Sementara MPR merupakan lembaga yang terdiri dari DPD dan DPR.
 Kericuhan di sidang paripurna DPD. (Antara Foto/Agung Rajasa) |
Toto menuturkan, Oso tidak mungkin bisa melepaskan kepentingan partai jika nantinya resmi menjabat sebagai Ketua DPD. Sikap tersebut, kata dia, secara otomatis akan berdampak pada peran senator yang seharusnya memperjuangkan kepentingan daerah tanpa mempertimbangkan keputusan politik partai.
“Kalau dipimpin ketua partai maka DPD menjadi partisan. Artinya kepentingan daerah akan di nomor duakan, maka kemudian nanti adalah kepentingan partai,” ujarnya.
Salain kekhawatiran terhadap matinya marwah perwakilan daerah, kata Toto, posisi Oso dan dua wakilnya di DPD juga terbilang ilegal. Ia menilai, Oso dan dua Wakil Ketua DPD baru telah melanggar keputusan MA yang berkekuatan hukum.
Lebih dari itu, ia berpandangan, jika Oso dkk tetap memaksakan diri untuk mengikuti hasil paripurna 3 April 2017 maka legitimasi hukum Oso dkk bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
“Pemilihan itu mengangkangi hukum. Hukum tidak lagi diindahkan. Menurut Saya ini mempengaruhi legitimasi Pak Oso dan formasi di bawahnya,” ujar Toto.
Ke depan, Toto berharap, DPD bisa melakukan rapat internal untuk mencari jalan tengah atas permasalahan tersebut. Ia pesimis peran DPD bisa menjadi lebih baik jika dipimpin oleh partisan. Pasalnya, ia melihat, sejak pertama kali dibentuk DPD belum memberikan kotribusi yang berarti bagi masyarakat atau daerah.
“Kemarin saja DPD bisa dikatakan tidak bekerja, hanya menghamburkan anggaran negara yang tidak ada hasilnya. Apalagi dengan kepengurusan yang bermasalah hukum, kemudian tidak bebas dari parpol, partisan, dan tidak independen,” ujarnya.
 Oesman Sapta sehari setelah terpilih aklamasi jadi Ketua DPD. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Muradi mengatakan, Oso saat ini mau tak mau harus memilih dan memilah tiga jabatan yang dia emban.
Oesman harus memilih posisi ketua DPD lalu melepas jabatan ketua umum Partai Hanura dan wakil ketua MPR, atau tetap mengemban jabatan ketua umum Partai Hanura dan wakil ketua MPR, dengan menanggalkan posisi ketua DPD.
Menurut Muradi, dalam 'dagelan' politik yang tersaji di DPD, dapat tergambar bagaimana kualitas elite politik mengenai kedewasaan dan kebesaran hatinya dalam berpolitik.
"Kalau saya jadi Oesman, saya akan melepas ketua DPD, saya akan fokus sebagai ketum Hanura, mengembangkan partai, dan fokus sebagai wakil ketua MPR," kata Muradi.