Jakarta, CNN Indonesia -- Apa yang harus dipunyai seorang yang ingin jadi fotografer olahraga sukses? Jika Anda menanyakannya pada Peksi Cahyo, jawabannya adalah kesabaran.
Fotografi olahraga memang sedikit berbeda dari foto jurnalistik pada umumnya. Ia dibatasi ruang dan waktu, entah itu 2x45 menit di lapangan sepak bola atau 4x10 menit di lapangan basket yang berukuran lebih kecil. Dalam batasan-batasan itu, para fotografer harus menangkap gerak dan momen yang terkadang muncul hanya sepersekian detik. Sedikit saja lengah bisa berarti ‘petaka’.
Peksi berpendapat, bentuk arena apapun hanya bisa ditaklukkan melalui kesabaran karena tak ada yang bisa memprediksi momen yang akan terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Peksi, pekerjaan fotografer olahraga bahkan hampir sama dengan atlet itu sendiri. Selain butuh kesabaran, juga perlu daya tahan yang kuat karena harus memiliki konsentrasi dan fokus yang baik.
Selanjutnya, masih menurut Peksi, penting untuk mensinkronisasi gambar yang ingin didapat dengan proses kreatif. Caranya dengan mempelajari perilaku sang pemain, paham tata letak stadion, memilih sudut tepat, hingga pemilihan lensa.
Satu hal lain yang tak kalah penting adalah riset.
"Perlu, karena mengamati perilaku orang, mulai dari di dalam lapangan sampai penonton, atau perilaku The JakMania dengan suporter Persib, itu berbeda. Antara SM (Satria Muda) dan Aspac beda. Hal itu mesti dipelajari kalau benar-benar mau memadukan hati dan kepala," ucap Peksi yang berbincang dengan
CNNIndonesia.com akhir pekan lalu.
Peksi mengawali kariernya sebagai foto jurnalis. Namun, pada 2003, ia memantapkan hati terjun di fotografi olahraga dengan bergabung Tabloid Bola.
Itu pun terjadi secara tidak sengaja. Saat itu Peksi yang merupakan fotografer Sinar Harapan, merasa berada di titik yang memaksanya untuk mengembangkan diri.
Peksi sebenarnya sudah sampai pada tahap wawancara di kantor berita EPA (European Pressphoto Agency). Namun di tengah jalan, dia mendapatkan panggilan dari Tabloid Bola. Ia pun mengubah pilihan.
"Mungkin seperti dalam tanda kutip sudah jalannya. Waktu itu,
somehow, enggak tahu kenapa, ingin ke tukang koran baca-baca saja. Terus gue ambil (tabloid) Bola kerena sudah lama enggak langganan waktu masih di Sinar Harapan. Gue buka ternyata ada lowongan. Eh, lalu dipanggil. Akhirnya gue milih di situ," ujarnya.
Di tabloid olahraga itu Peksi bekerja 12 tahun sebelum akhirnya pindah ke bola.com pada 2015.
 Foto Profil Sergio van Dijk, penyerang timnas Indonesia asal klub Perseib Bandung dalam pertandingan Pra Piala Asia melawan Arab Saudi di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, Sabtu (23/3) nanti. (Peksi Cahyo/Bola) |
Sebagai fotografer olahraga, Peksi menilai olahraga yang sangat sukar diabadikan adalah lari. Ini karena banyak hal harus dipertimbangkan dalam waktu pertandingan yang sangat singkat, mulai dari perencanaan pengambilan gambar, hingga penentuan posisi mengambil foto.
Pria kelahiran Jakarta, 19 April 1976 ini mengaku keberuntungan tetap jadi hal penting bagi fotografer olahraga. Tapi nilainya tak lebih tinggi dari teknik dan juga persiapan.
"
Luck, persiapan, dan teknik. Nah ketiga itu harus dikombinasikan. Tapi kembali lagi, kadang-kadang Anda punya
skill luar biasa, punya persiapan, tapi lagi enggak ketemu
luck. Gitu saja," ucapnya.
"Tapi yang bisa saya pastikan, kalau Anda enggak punya
skill dan enggak punya persiapan, Anda enggak akan dapat
luck. Kayak matematika hukum persamaan, ini plus ini sama dengan itu."
Ketaatan menerapkan tiga prinsip itu membuat Peksi merebut juara 1 kategori olahraga di Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2015. Foto yang membuatnya mendapatkan penghargaan itu adalah momen Daud Jordan yang sedang menerima bogem mentah.
Perjuangan untuk mendapatkan foto itu bukan hal mudah. Pada saat pertandingan, Tabloid Bola tidak mendapatkan jatah mengambil foto di area pinggir ring. Tapi setelah melakukan lobi dengan pihak penyelenggara, Peksi pun bisa mendapatkan tempat ideal
Saat laga digelar, dia mengaku benar-benar bisa masuk ke dalam ritme pertandingan sehingga dengan mudah bisa mengabadikan momen sepanjang pertandingan – salah satunya adalah foto yang kemudian merebut juara 1.
 Petinju kelas bulu Indonesia Daud Jordan bertarung melawan penantangnya asal Afrika Selatan, Simpiwe Vetyeka dalam perebutan gelar versi IBO di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Indonesia, Minggu (14/4/2013). Daud Jordan kalah TKO di ronde ke 12. (PEKSI CAHYO/BOLA) |
Foto itu membuat Peksi merasa dirinya bak musisi yang akhirnya bisa memiliki album yang laris dan disukai orang.
“Sebelum fase itu, gue merasa ketika gue menekuni karier jurnalistik, ya gue belum ketemu lagu hits. Oke gue punya lagu enak didengar, tapi gue belum punya lagu yang orang sepakat bahwa lagu ini enak dan layak duduk di tangga nomor satu. Akhirnya datang lah malam itu,” tuturnya.
Salah satu pelajaran berharga diperolehnya dari proses foto Daud Jordan adalah foto bagus justru kadang tidak terjadi ketika mata terpaku pada viewfinder kamera. Menurutnya, seorang fotografer memang bisa kehilangan bidikan karena adanya jeda waktu saat menekan
shutter dengan momen di hadapan mata.
“Gue merasakannya di mata, tapi enggak bisa gue lihat di viewfinder gue. Saat gue review gue motret bola, gue liat di sini (viewfinder) ada, terus gue lihat hasilnya, ya telat sepersekian detik,” katanya.
Karena itulah, menurut dia, seorang fotografer juga diharus memiliki refleks yang baik, sama seperti atlet. Fotografer olahraga harus selalu siap mengantisipasi momen, sehingga tidak akan kehilangan.
Pria yang juga punya hobi memelihara anjing ini menyebut pertandingan antara Italia melawan Slovakia pada Piala Dunia 2010 lalu menjadi salah satu momen berkesan dalam kariernya. Pada saat perencanaan liputan, Peksi memang sengaja memilih pertandingan tersebut, karena ia berharap mendapatkan momen selebrasi pemain-pemain Italia.
Namun di luar dugaan, Italia justru tersungkur dan pulang lebih dini. "Saat itu gue merasakan moment of despair," ungkapnya.
Di sisi lain, sebagai fotografer olahraga Peksi merasa beruntung bisa menjadi saksi kejayaan Spanyol mulai dari Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan terakhir Piala Eropa 2012.
“Gue punya foto mereka jadi kampiun Eropa, jadi juara dunia. Bagi gue kayak tabungan gue kalau nanti pensiun, data-data itu kan hak ciptanya ada di gue. Akhirnya hal itu yang mungkin membuat gue mensyukuri keputusan tidak memilih kerja di agensi luar negeri. Gue lebih memilih di institusi lokal ,” ucapnya.
Bagi seorang Peksi, esensi dari foto olahraga bukan soal menang atau kalah. Tapi cerita di baliknya.
“Bapak olimpiade modern Pierre de Coubertin bicara, esensi olahraga itu bukan menang atau kalah.
It’s not about winning or losing, but it’s about to participate. Bagaimana lo berpartisipasi dalam sebuah pertandingan, menyiapkan diri serius menghadapi sebuah pertandingan,” kata Peksi.
Ia juga berpesan agar fotografer olahraga harus bisa melakukan pendekatan dengan atlet karena bisa memberikan pengaruh terhadap foto. “Touch” seorang fotografer yang memiliki kedekatan dengan atlet, menurutnya, akan berbeda dari mereka yang asal datang untuk liputan.
Peksi mengibaratkan seperti seseorang yang sedang mendengarkan musik, tapi tidak mendapatkan jiwa dari musik tersebut.
“Sebenarnya kalau boleh menyarankan, di semua jenis pekerjaan, terutama pekerjaan jurnalisme dibutuhkan soul. Gue enggak tau fotografer ekonomi bisnis soulnya seperti apa, tapi kalau memotret atlet itu memotret passionnya. Mendapatkan
soul itu penting, salah satu caranya bergaul sama orang-orang yang terjun di industri tersebut,” ujarnya.
Cara lainnya, lanjut Peksi, bisa dengan datang ke tempat latihan dan membangun hubungan dengan atlet tersebut lewat mengobrol.
“Pertama, lo harus memahami pertandingan itu sendiri. Terus lo harus paham esensi sport itu apa sih. Kayak yang tadi gue bilang, its not about wining. Tapi bisa rasain perjuangan orang untuk menjadi yang terbaik.”
“Fotografer olahraga yang ideal adalah setelah motret di pertandingan, besoknya mulai kenalan dengan sang atlet. Datang pas latihan, lihatin, nongkrong. Enggak motret, simpan saja kameranya. Dari semua itu kan terus lo bisa bayangin, jenis manusia kayak apa yang harus gue gambarkan dengan lensa kamera,” ucapnya.
-------
Tulisan ini diterbitkan dalam rangka merayakan World Press Freedom Day 2017. CNN Indonesia menerbitkan hasil wawancara dengan lima jurnalis foto berpengalaman Indonesia.Simak wawancara dengan fotografer lainnya:
Adek Berry, Dua Dekade Memotret BahayaKala Kamera Agus Menangkap Basah Gayus Tambunan