Peksi Cahyo dan Tiga Rahasia Fotografi Olahraga

CNN Indonesia
Kamis, 04 Mei 2017 15:59 WIB
Sejak 2003 lalu Peksi Cahyo malang melintang di dunia fotografi olahraga. Pada 2015 silam, ia mendapatkan karya terbaiknya ketika memotred Daud Jordan.
Peksi Cahyo menilai bahwa fotografi olahraga bukan hanya soal memotret kemenangan, tapi cerita perjuangan para atlet. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Ketaatan menerapkan tiga prinsip itu membuat Peksi merebut juara 1 kategori olahraga di Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2015. Foto yang membuatnya mendapatkan penghargaan itu adalah momen Daud Jordan yang sedang menerima bogem mentah.

Perjuangan untuk mendapatkan foto itu bukan hal mudah. Pada saat pertandingan, Tabloid Bola tidak mendapatkan jatah mengambil foto di area pinggir ring. Tapi setelah melakukan lobi dengan pihak penyelenggara, Peksi pun bisa mendapatkan tempat ideal

Saat laga digelar, dia mengaku benar-benar bisa masuk ke dalam ritme pertandingan sehingga dengan mudah bisa mengabadikan momen sepanjang pertandingan – salah satunya adalah foto yang kemudian merebut juara 1.
Petinju kelas bulu Indonesia Daud Jordan bertarung melawan penantangnya asal Afrika Selatan, Simpiwe Vetyeka dalam perebutan gelar versi IBO di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Indonesia, Minggu (14/4/2013). Daud Jordan kalah TKO di ronde ke 12. (PEKSI CAHYO/BOLA)Petinju kelas bulu Indonesia Daud Jordan bertarung melawan penantangnya asal Afrika Selatan, Simpiwe Vetyeka dalam perebutan gelar versi IBO di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Indonesia, Minggu (14/4/2013). Daud Jordan kalah TKO di ronde ke 12. (PEKSI CAHYO/BOLA)

Foto itu membuat Peksi merasa dirinya bak musisi yang akhirnya bisa memiliki album yang laris dan disukai orang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Sebelum fase itu, gue merasa ketika gue menekuni karier jurnalistik, ya gue belum ketemu lagu hits. Oke gue punya lagu enak didengar, tapi gue belum punya lagu yang orang sepakat bahwa lagu ini enak dan layak duduk di tangga nomor satu. Akhirnya datang lah malam itu,” tuturnya.

Salah satu pelajaran berharga diperolehnya dari proses foto Daud Jordan adalah foto bagus justru kadang tidak terjadi ketika mata terpaku pada viewfinder kamera. Menurutnya, seorang fotografer memang bisa kehilangan bidikan karena adanya jeda waktu saat menekan shutter dengan momen di hadapan mata.

“Gue merasakannya di mata, tapi enggak bisa gue lihat di viewfinder gue. Saat gue review gue motret bola, gue liat di sini (viewfinder) ada, terus gue lihat hasilnya, ya telat sepersekian detik,” katanya.

Karena itulah, menurut dia, seorang fotografer juga diharus memiliki refleks yang baik, sama seperti atlet. Fotografer olahraga harus selalu siap mengantisipasi momen, sehingga tidak akan kehilangan.

Pria yang juga punya hobi memelihara anjing ini menyebut pertandingan antara Italia melawan Slovakia pada Piala Dunia 2010 lalu menjadi salah satu momen berkesan dalam kariernya. Pada saat perencanaan liputan, Peksi memang sengaja memilih pertandingan tersebut, karena ia berharap mendapatkan momen selebrasi pemain-pemain Italia.

Namun di luar dugaan, Italia justru tersungkur dan pulang lebih dini. "Saat itu gue merasakan moment of despair," ungkapnya.

Di sisi lain, sebagai fotografer olahraga Peksi merasa beruntung bisa menjadi saksi kejayaan Spanyol mulai dari Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan terakhir Piala Eropa 2012.

“Gue punya foto mereka jadi kampiun Eropa, jadi juara dunia. Bagi gue kayak tabungan gue kalau nanti pensiun, data-data itu kan hak ciptanya ada di gue. Akhirnya hal itu yang mungkin membuat gue mensyukuri keputusan tidak memilih kerja di agensi luar negeri. Gue lebih memilih di institusi lokal ,” ucapnya.

Bagi seorang Peksi, esensi dari foto olahraga bukan soal menang atau kalah. Tapi cerita di baliknya.

“Bapak olimpiade modern Pierre de Coubertin bicara, esensi olahraga itu bukan menang atau kalah. It’s not about winning or losing, but it’s about to participate. Bagaimana lo berpartisipasi dalam sebuah pertandingan, menyiapkan diri serius menghadapi sebuah pertandingan,” kata Peksi.

Ia juga berpesan agar fotografer olahraga harus bisa melakukan pendekatan dengan atlet karena bisa memberikan pengaruh terhadap foto. “Touch” seorang fotografer yang memiliki kedekatan dengan atlet, menurutnya, akan berbeda dari mereka yang asal datang untuk liputan.

Peksi mengibaratkan seperti seseorang yang sedang mendengarkan musik, tapi tidak mendapatkan jiwa dari musik tersebut.

“Sebenarnya kalau boleh menyarankan, di semua jenis pekerjaan, terutama pekerjaan jurnalisme dibutuhkan soul. Gue enggak tau fotografer ekonomi bisnis soulnya seperti apa, tapi kalau memotret atlet itu memotret passionnya. Mendapatkan soul itu penting, salah satu caranya bergaul sama orang-orang yang terjun di industri tersebut,” ujarnya.

Cara lainnya, lanjut Peksi, bisa dengan datang ke tempat latihan dan membangun hubungan dengan atlet tersebut lewat mengobrol.

“Pertama, lo harus memahami pertandingan itu sendiri. Terus lo harus paham esensi sport itu apa sih. Kayak yang tadi gue bilang, its not about wining. Tapi bisa rasain perjuangan orang untuk menjadi yang terbaik.”

“Fotografer olahraga yang ideal adalah setelah motret di pertandingan, besoknya mulai kenalan dengan sang atlet. Datang pas latihan, lihatin, nongkrong. Enggak motret, simpan saja kameranya. Dari semua itu kan terus lo bisa bayangin, jenis manusia kayak apa yang harus gue gambarkan dengan lensa kamera,” ucapnya.

-------

Tulisan ini diterbitkan dalam rangka merayakan World Press Freedom Day 2017. CNN Indonesia menerbitkan hasil wawancara dengan lima jurnalis foto berpengalaman Indonesia.

Simak wawancara dengan fotografer lainnya:

Adek Berry, Dua Dekade Memotret Bahaya

Kala Kamera Agus Menangkap Basah Gayus Tambunan


HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER