Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak usia remaja, Hariyanto sudah akrab dengan lembaran-lembaran foto meski tak menyandang status sebagai fotografer. Pekerjaannya di tempat cuci cetak foto Rapiko, Menteng, Jakarta, memaksa matanya untuk terbiasa melihat gambar-gambar yang disusun dengan komposisi yang benar. Maklum, para fotografer ternama Indonesia sering mencuci-cetak karya mereka di Rapiko.
Belasan tahun kemudian, Hariyanto menjadi kepala Divisi Artistik dan Foto di
Media Indonesia.
Ya, bagi Hariyanto profesi jurnalis foto dianggap sebagai 'kecelakaan'. Menggeluti dunia itu tak pernah terlintas di benaknya. Perkenalan dengan kamera juga bermula dari pekerjaanya di Rapiko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya fotografer
Media Indonesia, Gino Franky Hadi, kerap menitipkan kamera pada saat sedang mencuci cetak di sana. Kamera itu membuat Hariyanto penasaran dan coba memegangnya.
"Melihat kamera gede sangat tertarik. Enggak tahan juga, gue pegang, gue lihat-lihat, gue intip. Ternyata ketahuan sama yang punya. Kemudian saya dimarahi dan diomelin. 'Kamera gue diapain? Awas sampai rusak. Gaji lo 30 tahun juga enggak bakal bisa (mengganti)'. Saya terpukul," ujar Hariyanto bercerita kepada
CNNIndonesia.com pada pekan ini.
Tapi ketertarikan pada fotografi itu akhirnya tak bisa diredam. Tanpa disadari, foto-foto yang sering dilihatnya di Rapiko terekam dalam memori visualnya. Hariyanto pun mulai melirik dunia foto jurnalistik.
"Salah satu fotografer
Media Indonesia, Hidayat, kemudian menyuruh saya: 'Kalau mau jadi wartawan, harus kuliah'. Akhirnya kuliah di ISIP dengan uang tabungan kerja satu tahun di Rapiko. Dari sana saya sudah mulai pinjam kamera sana-sini, pinjam dari pelanggan yang cuci cetak di Rapiko. Karena saya bekerja di cuci cetak foto, maka saya tahu trik-trik fotografi," ucap Hariyanto.
Karier pertama Hariyanto menjadi jurnalis foto dimulai saat dirinya diterima di Jawa Pos biro Jakarta sebagai fotografer. Setelah dari Jawa Pos, Hariyanto cukup sering berpindah-pindah tempat kerja, mulai dari majalah Bola/Raket, majalah Panji Masyarakat, majalah GAMMA, kemudian Tempo News Room.
"Saat itu karena kuantitas foto saya di Koran Tempo cukup banyak, akhirnya saya ditawari jadi staf. Karena permintaan tinggi maka tidak bisa untuk staf, harus levelnya ini level editor," kata Hariyanto.
Saat menjadi editor foto di Tempo, Hariyanto mendapat tawaran dari Media Indonesia. Ia pun pindah ke tempat kerja yang bertahan hingga sekarang.
Satu keunikan dari Hariyanto adalah ia sering kali dijuluki fotografer lomba. Ini karena karyanya sering mendapatkan penghargaan dari berbagai lomba foto, mulai dari tingkat nasional hingga internasional.
Hariyanto, menyebut salah satu alasannya sering mengikuti berbagai lomba foto adalah untuk mencari pemasukan tambahan karena gajinya yang bisa dibilang tak seberapa.
"Cari duit tambahan, karena gaji gue enggak banyak. Kedua pengen narsis juga. Sepanjang
effort gue enggak terlalu berat, kenapa enggak?" ujarnya.
Lomba foto yang pertama kali dimenangi olehnya adalah lomba foto Modelling Fuji-Suzuki pada 1992 silam. Saat itu ia mengaku menggunakan kamera pinjaman untuk mengikuti lomba. Salah satu ajang internasional yang dimenanginya adalah Grand Prize Competition "Citra Indonesia" British Council tahun 1998.
Selain mengikuti lomba fotografi, Hariyanto juga kerap menjadi juri sejak 2005. Ia juga pernah tiga kali didaulat menjadi juri Anugerah Pewarta Foto Indonesia.
Pria yang lahir di Lamongan, 26 September 1971 ini mengaku bangga banyak jurnalis foto Indonesia yang bisa menghasilkan karya dalam skala internasional. Salah satunya terlihat dari banyaknya penghargaan dari lomba foto internasional.
Pria yang memiliki hobi bernyanyi dan menulis puisi ini punya harapan agar jurnalis foto di Indonesia memiliki pemikiran bahwa mereka bisa mengubah sesuatu dari produk jurnalistik yang mereka hasilkan.
"Tidak sekadar menyampaikan informasi, tapi harus bisa memberikan hiburan, atau edukasi. Ketika tiga hal itu sudah dipenuhi, bukan tidak mungkin produk itu bisa menggerakkan orang, menginspirasi orang banyak. Peristiwa yang ditangkap bisa mengubah banyak hal," tuturnya.
 Salah satu foto karya Hariyanto, yang kepala Divisi Artistik dan Foto di Media Indonesia. (MI/HARIYANTO) |
Bagi Hariyanto, seorang jurnalis foto harus memiliki memori visual yang kaya yang merekam banyak informasi dan pengetahuan. Selain itu harus punya sensitivitas. Haryanto menilai dua hal itu yang akan membuat seorang fotografer dengan mudah menangkap berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, yang terlewati orang lain.
Ketiga, menurut Hariyanto seorang jurnalis foto juga harus mau melakukan riset untuk pra-visualisasi sebelum memotret. Riset tersebut, kata Hariyanto, saat ini bisa dilakukan dengan mudah dengan adanya internet. Satu hal penting lainnya adalah daya juang.
"Jika sudah punya keinginan mau bikin sesuatu, punya tiga kemampuan tadi, tapi enggak mampu mengatasi hambatan, maka yang tiga tadi jadi enggak terpakai. Fighting spirit itu harus. Itu jadi kunci," ujarnya.
Terakhir, seorang jurnalis foto juga disebutnya harus punya kesadaran bahwa pekerjaannya adalah untuk kepentingan orang lain. Hariyanto menilai seorang fotografer tidak boleh terjebak pada egoisme untuk memuaskan diri sendiri.
"Kalau selintas fotonya bikin bingung, pasti ditinggalkan. Dalam waktu singkat, foto harus menarik mata orang untuk bertahan masuk ke dalam foto, itu penting. Sekarang ini kan banyak teman-teman yang punya otoritas memilih foto, kemudian terjebak dalam style personal. Itu berbahaya," tuturnya.
Bagi Hariyanto sendiri fotografi merupakan medium untuk beribadah. Dalam artian, sebagai seorang jurnlalis foto ia berharap bisa mengubah sesuatu dari tidak baik menjadi lebih baik, dari yang tidak punya harapan menjadi punya harapan, dari yang tidak bahagia menjadi bahagia.
"Itu harapan saya, itu idealisme saya."