Jakarta, CNN Indonesia -- Angka kejahatan di DKI Jakarta diprediksi akan terus meningkat. Hal tersebut dipicu oleh lemahnya pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan dan faktor ekonomi sosial yang mendorong seseorang melakukan tindak kejahatan.
Sebab, berdasarkan studi yang dilakukan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Indonesia (MaPPI FHUI), pelaku tindak kejahatan merupakan 'pemain-pemain' baru.
Studi MaPPI dilakukan dengan meneliti 1.276 putusan pengadilan tindak pidana ringan se-DKI Jakarta tahun 2010-2015. Hasil studi menunjukkan 98,8 persen pelaku kejahatan adalah pelaku baru. Sisanya 2,9 persen adalah 'pemain lama' atau residivis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelaku-pelaku baru di dunia kejahatan, menurut Peneliti MaPPI FHUI Bestha Inatsan, jika tidak ditangani secara baik maka bisa berpotensi mengulangi lagi perbuatannya. Bahkan, berpotensi menjadi residivis.
"Saat keluar dari penjara, mereka enggak tahu mau ngapain, terpaksa masuk lagi. Makan dan tidur gratis," kata Betsha di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, kemarin.
Pelaku kejahatan baru ini, kata Betsha, didominasi laki-laki dengan jumlah 81,9 persen, sementara perempuan berjumlah 10,5 persen.
Dari sisi usia, lanjut Betsa, studi menemukan ada 34,4 persen pelaku kejahatan rata-rata berusia 15-24 tahun.
Bestha mengatakan, pemicu utama munculnya tindak pidana ringan di Jakarta disebabkan oleh kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan yang minim.
Dia menyebut sebagian besar kasus pencurian dilakukan oleh pengangguran. "Sebanyak 36,7 persen," kata dia.
Adapun objek yang paling banyak dicuri, jelas dia, adalah ponsel dan laptop sebanyak 34,7 persen. Kemudian diikuti pencurian sepeda motor sebanyak 18,4 persen.
"Dalam perkara pembunuhan pelaku terbanyak bekerja di sektor buruh, pedagang kecil, sopir dan lainnya itu sebesar 33,4 persen. Yang kedua bekerja di sektor swasta yakni 20,5 persen," ucapnya.
Peneliti MaPPI lainnya, Muhamad Rizaldi menambahkan, meningkatnya tindak kejahatan juga dipicu proses penanganan perkara di pengadilan yang mengakibatkan kelebihan kapasitas di penjara.
Dia menyebut, kelebihan kapasitas membuat narapidana tidak ditangani secara baik.
"Over capacity membuat napi tidak mendapat pembinaan yang baik," kata Rizaldi.
Menurut Rizaldi, pemicu kapasitas berlebihan disebabkan oleh penanganan perkara secara berlebihan yakni hakim memeriksa terdakwa menggunakan acara pemeriksaan cepat.
Padahal, kata dia, untuk tindak pidana ringan, putusan pengadilan harus mengacu pada ketentuan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP)
ataupun Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2012.
Aturannya, kata Rizaldi, untuk pidana ringan hukuman yang dijatuhkan adalah tiga bulan penjara dan denda Rp1.000 sesuai KUHP.
Dalam catatan MaPPI, kata Rizaldi, dari 175 perkara yang ditangani pengadilan, hanya empat perkara yang putusannya tiga bulan sesuai Perma nomor 2 tahun 2012.
Selebihnya, lanjut dia hakim menjatuhkan vonis lebih dari tiga bulan.