Kapolri: Bom Thamrin Direncanakan Lewat Telegram

Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Senin, 17 Jul 2017 11:34 WIB
Kapolri mengatakan para pelaku teror di Indonesia melakukan komunikasi lewat Telegram. Atas dasar itu, kepolisian ikut meminta pemblokiran.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut Bom Thamrin direncanakan lewat aplikasi Telegram. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menemukan sebanyak 17 kasus aksi teror di Indonesia yang terkait dengan penggunaan layanan pesan Telegram.

Dari sejumlah rangkaian aksi teror tersebut, kata Tito, Telegram juga termasuk digunakan komunikasi dalam peristiwa bom di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta, pada awal 2016.

"Selama dua tahun terakhir ada 17 (kasus), mulai dari kasus bom Thamrin dan lain-lain," kata Tito sebelum rapat kerja dengan Komisi III DPR, Jakarta, Senin (17/7).
Tito mengatakan para teroris cenderung menggunakan aplikasi Telegram karena layanan pesan atau komunikasi lain seperti telepon hingga pesan singkat dapat disadap aparat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Telegram, kata dia, juga dapat membuat grup dengan 10 ribu peserta, tanpa diketahui pengelolanya. Selain itu, masih ada pula layanan end to end encryption yang menawarkan keamanan pesan tanpa bisa disadap dan akun tersembunyi.

Dengan manfaat itu, kata Tito, para dalang dan pelaku teror menggunakannya untuk melancarkan serangan dalam dua tahun terakhir.

"Termasuk kasus-kasus yang di Masjid Falatehan Blok M, kemudian Bandung, kasus yang menyerang Polda Sumatera Utara itu menggunakan komunikasi ini," kata Tito.
Lewat komunikasi via Telegram, lanjut Tito, para teroris kemudian bergerak seorang diri (lone wolf) untuk belajar merakit bom dari pesan di grup-grup yang ada.

"Dan bahkan yang ngajarin cara membuat bom dan pembahan doktrin radikal yang menerima pun tidak tahu siapa dia," ucap Tito.

Atas dasar itu, mantan bos Densus 88 tersebut menegaskan permintaan untuk memblokir layanan Telegram adalah atas permintaan pihaknya. Itulah yang disampaikan Tito dalam rapat Komisi III DPR.

"Kami melihat national security ini akan terganggu dan terancam dengan adanya fitur yang disalahgunakan kelompok ini," kata dia.
Akhir pekan lalu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir layanan Telegram. Kemenkominfo memastikan konten radikal jadi alasan mereka menutup Telegram yang identik dengan fitur keamanan enskripsi yang tinggi.

Sementara ini, pemerintah hanya menutup akses untuk layanan versi situs web. Untuk versi aplikasi, sejauh ini, Telegram masih bisa digunakan dengan bebas. (kid/gil)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER