Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkapkan Johannes Marliem sempat menyampaikan kekhawatirannya saat melakukan komunikasi dengan LPSK. Hal tersebut disampaikan Johannes saat dihubungi LPSK untuk kedua kalinya.
Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, komunikasi pertama pihaknya dengan Johannes masih dalam tahap pengenalan fungsi, peranan, dan mandat yang dimiliki LPSK untuk melindungi saksi.
Ia menyebut, Johannes awalnya tidak mengetahui soal LSPK yang memiliki peranan untuk melindungi saksi dalam sebuah kasus, sehingga perlu diperkenalkan terlebih dulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Komunikasi yang pertama itu yang kami lakukan, komunikasi kedua itu memang ada kekhawatiran dia (Johannes) yang dia sampaikan, tapi kami belum bisa men-track apakah kekhawatiran ini karena yang bersangkutan diancam atau merasa terancam, karena kan beda kalau terancam kan psikologis dia saja," kata Hasto saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (15/8).
Setelah komunikasi tersebut, ia menambahkan, Johannes berkeinginan untuk mengajukan permohonnan perlindungan kepada LPSK. Kemudian, LPSK mengirimkan formulir pengajuan permohonan ke Johannes melalui email.
Usai dikirim formulir tersebut, LPSK berharap, Johannes segera melengkapi berbagai syarat yang diperlukan, seperti identitas dan lampiran kronologi kasus yang dihadapinya.
"Belum sempat mengajukan, sudah keburu ada kabar meninggal itu," ujar Hasto.
Menurut dia, komunikasi terakhir yang dilakukan LPSK dengan Johannes terjadi pada 31 Juli. "Saya lupa yang pertama, tapi dua minggu sebelumnya barang kali, kontak terakhir 31 Juli," ucapnya.
 Johannes Marliem sempat berkomunikasi dengan LPSK terkait kekhawatirannya. (Foto: Screenshoot via Facebook/@Johannes Marliem) |
Hasto mengatakan, penawaran yang diberikan kepada LPSK terhadap Johannes dilakukan karena LPSK melihat ada risiko besar yang dihadapi Johannes dalam statusnya sebagai saksi kasus e-KTP.
"Ya karena kesaksian dia menyangkut sejumlah orang yang dinyatakan terlibat dalam kasus e-KTP, dan yang bersangkutan mengakui punya data 500 gigabyte, kami merasa yang bersangkutan ada dalam risiko sangat tinggi," kata Hasto.
Sebelum menghubungi Johannes, Hasto menyebut LPSK telah mencoba melakukan komunikasi dengan KPK untuk melakukan koordinasi terkait upaya perlindungan terhadap Johannes. Namun, kata Hasto LPSK menemui kesulitan untuk melakukan komunikasi dengan KPK.
"Kami menduga ada risiko yang dihadapi oleh orang ini (Johannes) kami segera berusaha mengontak KPK, tapi KPK sulit sekali komunikasi, lalu kami berusaha langsung, bersuaha mencari kontak yang bersangkutan," tuturnya.
Sosok Johannes Marliem menjadi pembicaraan usai diberitakan tewas di kediamannya di kawasan Los Angeles, Amerika Serikat. Dia dikabarkan bunuh diri di rumahnya, yang masuk dalam kawasan elite di sana.
Pria asal Indonesia yang menetap di Negeri Paman Sam itu merupakan penyedia alat pengenal sidik jari atau automated fingerprint identification system (AFIS) ke konsorsium penggarap proyek e-KTP, yakni PNRI yang dibentuk Andi.
Johannes Marliem sudah dua kali diperiksa penyidik KPK. Johannes sempat mengklaim memiliki bukti rekaman pembahasan proyek yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun itu.
(djm/djm)