Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak awal kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo memiliki target ambisius dalam hal pembangunan infrastruktur. Bandar udara, pelabuhan, jalan raya, dan infrastruktur lainnya dibangun di berbagai daerah. Pembangunan itu dikebut Jokowi dengan menggenggam prinsip 'kerja, kerja, kerja'.
Bicara pembangunan infrastruktur, Indonesia tentu masih ingat dengan Presiden Suharto bersama rezim pemerintahannya, Orde Baru. Soeharto sampai dijuluki 'Bapak Pembangunan'. Selama 32 tahun jadi orang nomor satu di Orde Baru, Suharto juga banyak mengubah wajah Indonesia.
Mantan Presiden Soeharto adalah sosok yang dikenal dengan orang yang menyebutkan kata ‘daripada’ dalam setiap ucapannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu buku yang menunjukkan hal itu adalah
Presiden (daripada) Soeharto: Dulu Dihujat, Kini Dirindukan, ditulis oleh Jonar T.H. Situmorang pada 2016..
Meski demikian, ada beberapa perbedaan antara Jokowi dengan Soeharto yang sama-sama memprioritaskan pembangunan infrastruktur selama menjalankan mandatnya sebagai presiden.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Adi Prayitno menyatakan ada perbedaan cukup signifikan antara kedua sosok tersebut. Mulai dari merespons kritik yang diarahkan kepada pemerintah, keterbukaan anggaran, sampai pada pembangunan di daerah-daerah selain Pulau Jawa.
Cara Menanggapi KritikAdi menilai, Jokowi berani mengambil keputusan yang sama sekali tidak populis demi mencapai targetnya dalam hal pembangunan. Misalnya, ketika Jokowi mencabut subsidi bahan bakar minyak dan listrik yang kemudian dialihkan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Keputusan itu tentu menimbulkan kritik dan cemooh dari masyarakat.
"Tetapi Jokowi jalan terus," kata Adi kepada CNNIndonesia.com, Minggu malam (10/9).
Jokowi tidak memberangus para pengkritiknya. Hal itu, tidak seperti apa yang Suharto lakukan di masa lalu.
Soeharto cenderung tidak bisa dikritik, bahkan antikritik. Adi menjelaskan, Soeharto tidak terlalu suka memberi ruang kepada masyarakat untuk memberi catatan kepada pemerintah.
Jokowi dan Soeharto tetap menjalankan misinya meski ada kritik dan protes. Bedanya, Jokowi jalan terus tanpa mempedulikan pengkritiknya, sementara Soeharto maju terus namun dengan menyingkirkan pengkritiknya.
Transparansi AnggaranHal lain yang membedakan Jokowi dan Soeharto yakni mengenai transparansi anggaran. Adi mengatakan, di masa pemerintahan Jokowi, alokasi anggaran untuk pembangunan lebih mudah dipantau dan diawasi dibanding pada masa pemerintahan Suharto.
Masyarakat masa kini dapat atau bahkan dituntut ikut serta mengawasi penggunaan anggaran untuk pembangunan, baik yang didapat dari dalam negeri, maupun utang dari luar negeri. Hal itu sungguh berbeda dibanding pada masa Orde Baru yang kerap tak pernah bisa diawasi, alih-alih terkendali.
 Suharto cenderung tidak bisa dikritik, bahkan antikritik. Suharto tetap menjalankan pembangunan, namun dengan menyingkirkan para pengkritiknya. (REUTERS). |
"Akibatnya, anggaran untuk pembangunan di masa Orde Baru itu diduga 'bocor', malah untuk memperkaya Suharto dan para kroninya," kata Adi.
Penyelewengan anggaran yang terjadi pada masa Orde Baru bisa saja terjadi lagi di masa Jokowi. Akan tetapi, Adi menganggap penggunaan anggaran pembangunan saat ini masih berada dalam rel.
Dia berani mengatakan hal tersebut karena Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan. Adi menganggap itu penting, karena Kemen-PUPR adalah kementerian yang paling bertanggungjawab mengurusi pembangunan.
"Kalau mau lihat indikatornya ya bisa dilihat dari hasil audit BPK terhadap kementerian yang berwenang. Siapa? ya Kementerian PUPR," papar Adi.
Pembangunan di Luar JawaKeputusan Jokowi membangun banyak infrastruktur di luar Pulau Jawa juga bisa disebut sebagai pembeda antara dirinya dengan Soeharto.
Adi mengatakan, pembangunan di masa Orde Baru cenderung Jawa sentris, khususnya Jakarta sebagai ibu kota negara. Berbeda dengan Jokowi yang membangun banyak infrastruktur di luar Pulau Jawa.
Adi mengatakan, keputusan Jokowi yang serius membangun infrastruktur di Papua contohnya, merupakan langkah luar biasa. Menurut Adi, sikap Jokowi sebagai presiden yang sering mengunjungi dan bahkan bermalam di Papua merupakan kelangkaan tersendiri dalam sejarah Indonesia.
"Dari dulu, warga Indonesia bagian timur itu dianggap warga negara kelas dua. Enggak pernah ditengok, enggak pernah disapa, apalagi dibangun," kata Adi.
Namun di sisi lain, Oxfam Indonesia menyatakan masalah ketimpangan pun menjadi pekerjaan yang harus dibenahi.
Dalam laporan terakhirnya pada Februari 2017, Oxfam menyatakan pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir, tak diimbangi dengan pembagian pendapatan yang lebih merata.
Kesenjangan antara kaum super kaya dan penduduk lainnya, juga dinilai lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.
“Jika ketimpangan tidak segera diatasi,” kata Dini Widiastuti, Juru Bicara Oxfam Indonesia khusus terkait laporan ketimpangan, "Maka upaya keras pemerintah menurunkan kemiskinan akan mengalami hambatan dan bisa menyebabkan ketidakstabilan di masyarakat."