Harap-harap Cemas Nelayan Pulau G Menanti Menko Luhut

CNN Indonesia
Kamis, 28 Sep 2017 22:04 WIB
Kepala Bappeda DKI Jakarta, Tuty Kusumawati menyebut laporan terkait Pulau G akan disampaikan langsung Menko Luhut Binsar Pandjaitan Jumat pekan ini.
Foto udara pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Kamis (11/5). (Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
Jakarta, CNN Indonesia --
Reklamasi yang sedianya akan dilaksanakan di kawasan pesisir Utara Jakarta hingga kini masih menuai kontroversi. Padahal telah ada sejumlah pulau buatan yang berdiri di kawasan pesisir utara Jakarta. Sebut saja Pulau C dan D yang baru-baru ini resmi dicabut sanksi administratifnya atau masyarakat lebih mengenal dengan istilah moratorium.

Bahkan pengembang Pulau D, yakni PT Kapuk Naga Indah (KNI), telah resmi menerima sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas pulau tersebut.

Sementara Pulau G, yang merupakan salah satu dari 17 pulau, sedianya akan dibangun di pesisir Utara Jakarta. Rencananya, pulau ini akan dibangun di atas Laut dengan luas maksimal 161 hektare dan telah resmi dikelola PT Muara Wisesa Samudera anak perusahaan Agung Podomoro Land.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak dimulai pembangunannya, bisa dibilang Pulau ini yang paling banyak dipermasalahkan sejumlah pihak. Tidak hanya para pegiat, pihak PLN pun menolak mentah-mentah desain pembangunan pulau yang sangat berdekatan dengan Muara Angke itu.


Penolakan perusahaan berpelat merah yang bergerak di bidang tenaga listrik itu karena pembangunan Pulau tersebut dianggap bisa mengganggu jalur pipa gas PLTGU Muara Karang yang berada di sana. Pihak PLN menyebut, jika Pulau G tetap dibangun sesuai dengan desain yang diajukan pemprov bukan tidak mungkin bisa menekan pipa-pipa gas yang mengalirkan panas bumi hingga berujung pada ledakan keras.

Pada Mei tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun mencabut izin pembangunan pulau G. Sebenarnya, bukan hanya pulau G yang dicabut izinnya oleh kementerian yang dipimpin Menteri Siti Nurbaya Bakar. Namun, seluruh pembangunan reklamasi ditunda izinnya atau dimoratorium karena diduga dokumen analisis dampak lingkungan serta kajian lingkungan strategis pulau-pulau itu bermasalah.

Pulau G yang paling parah, bukan hanya dicabut izin pembuatannya, pembangunannya pun digugat oleh sejumlah pegiat yang menolak reklamasi. Seperti, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang gencar membawa polemik Pulau G ke meja hijau.


Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur pun memutuskan pembangunan Pulau G menyalahi aturan. Gugatan KNTI terhadap Gubernur DKI dan pihak pengembang, yakni PT Muara Wisesa Samudera pun dimenangkan pihak penggugat.

Namun, pada akhirnya pihak Gubernur DKI yakni Pemprov dan pengembang pun mengajukan banding atas putusan majelis hakim yang telah memenangkan pihak penggugat itu.

"Dari 17 pulau reklamasi yang akan dibangun di Utara Jakarta, Pulau G adalah yang paling bermasalah dan paling merugikan. Siapa yang rugi? Nelayan di sana. Saya pastikan mereka akan kehilangan mata pencaharian besar-besaran," kata Marthin Hadiwinata Ketua KNTI kepada CNNIndonesia.com saat dihubungi melalui telepon, di Jakarta, Kamis (28/9).

Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke memaksa masuk ruang sidang pembahasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) RKL-RPL reklamasi dan pembangunan di atas Pulau G di Dinas Lingkungan Hidup DKI. Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke memaksa masuk ruang sidang pembahasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) RKL-RPL reklamasi dan pembangunan di atas Pulau G di Dinas Lingkungan Hidup DKI. (CNN Indonesia/M Andika Putra)

Benar memang, Pulau G direncanakan akan dibangun seluas 161 hektare, jarak dari Pulau G ke Muara Angke yang merupakan dataran ujung di utara Jakarta pun hanya selebar 300 meter saja. Sempit? Tentu saja. Jalur laut yang digunakan untuk membangun Pulau G pun merupakan jalur akses nelayan tradisional ketika mereka berlayar untuk mencari ikan.

Maka, ketika Pulau itu resmi berdiri mau tidak mau nelayan harus memutari Pulau seluas 161 hektare yang mana bisa mengambil cost atau biaya pengeluaran berlayar lebih tinggi.

"Mending kalau nelayan ini dapat ikan banyak. Ini sudah harus memutar, ikan juga pasti jadi sedikit karena habitatnya rusak setelah pulau dibangun," kata Marthin.

Namun, meskipun telah berkeras menolak pembangunan pulau hingga dibawa ke meja hijau pun Pemerintah seakan tak bergeming. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan misalnya, dengan tegas menyebut tak ada yang bisa menghentikan reklamasi di Pesisir Utara Jakarta.

"Tak ada yang bisa hentikan (reklamasi)," kata Luhut beberapa waktu lalu.


Bahkan, kajian teknis terkait Pulau ini pun telah mencapai tahap finalisasi pada Selasa lalu. Tim teknis reklamasi yang berasal dari berbagai stakeholder pun telah mencapai kesepakatan soal desain dan kajian teknologi yang bisa digunakan untuk menopang pembangunan Pulau G ini.

Kepala Bappeda DKI Jakarta, Tuty Kusumawati menyebut laporan terkait Pulau G akan disampaikan langsung oleh Menko Luhut Jumat pekan ini. Menurut dia, tak ada yang salah dengan desain apapun yang nantinya mereka pilih.

"Sudah ada (kesepakatan), nanti Pak menko yang sampaikan," kata dia.

Yang jelas, apapun hasilnya untuk Jumat Pekan ini terkait Pulau G tersebut nelayan lah yang menuai imbasnya. Sebab, ada lebih 1000-an keluarga nelayan yang berada di jalur merah pembangunan reklamasi ini. Sudah barang tentu, 1000 kepala keluarga inilah yang akan merasakan dampak hebat reklamasi. Entah itu positif atau negatif. 
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER