Jokowi, Islam, dan Menjaga Momentum Pilpres 2019

CNN Indonesia
Sabtu, 21 Okt 2017 19:07 WIB
Tiga tahun pemerintahan Jokowi terus dirundung tudingan sebagai pemerintah yang anti terhadap Islam dari beberapa kelompok. Benarkah demikian?
Tiga tahun pemerintahan Jokowi terus dirundung tudingan sebagai pemerintah yang anti terhadap Islam oleh beberapa kelompok. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tiga tahun pemerintahan Jokowi terus dirundung tudingan sebagai pemerintah yang anti terhadap Islam dari beberapa kelompok. Dari mulai tudingan anti-Islam akibat perkara penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hingga tudingan anti-Islam akibat mengkriminalisasi ulama seperti Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.


Pada akhir September lalu, Ketua Presidium Alumni Aksi Bela Islam 212 Slamet Maarif menyebut Jokowi tak ramah dan tidak bersahabat dengan Islam sejak berkuasa. Bahkan, Jokowi dinilainya terus menerus secara sistematis memojokkan posisi umat Islam sebagai kambing hitam dan objek fitnah politik.

"Kami melihat manifestasi Islamofobia yang dilakukan oleh elemen tertentu dalam tubuh rezim Jokowi," ujar Slamet pada 29 September lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini pertanyaannya, apakah benar pemerintahan Jokowi tak berpihak pada kelompok Islam? Lantas, apakah suara kelompok Islam bagi Jokowi bisa tergerus di Pilpres 2019 mendatang?

Jokowi, Islam, dan Menjaga Momentum Pilpres 2019Perppu Ormas menjadi salah satu tudingan bahwa Jokowi anti Islam, apalagi Perppu itu telah mematikan Hizbut Tahrir Indonesia. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Pengamat Politik Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno tak menilai demikian. Dosen di FISIP UIN Jakarta tersebut mengatakan tudingan Jokowi tak ramah Islam justru tak sesuai realitas saat ini.

Adi menilai, Jokowi telah mampu merangkul mesra kalangan Islam dan membangun komunikasi politik yang baik dengan kelompok-kelompok kunci Islam di Indonesia. Salah satunya adalah iktikad Jokowi yang kerap mengundang organisasi Islam seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nadhlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Gerakan Nasional Pendukung Fatwa MUI (GNPF-MUI).

“Ini untuk menebalkan keyakinan bahwa Jokowi itu tak ada masalah dengan umat Islam, kan selama ini Jokowi sering sekali dihadap-hadapkan dengan kelompok fundamental kanan itu dianggapnya dia bermasalah dengan umat Islam, padahal tidak ada korelasinya,” ujar Adi.

Adi menambahkan bahwa keberhasilan Jokowi ini didukung sikap dan kebijakan politik yang berpihak bagi kalangan Islam. Salah satunya menunaikan janji menetapkan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober. Padahal, Hari Santri awalnya hanya berupa usulan kiai dan ulama kepada pemerintah justru direspon cepat menjadi kebijakan.

Selain itu, dalam kunjungan kerja ke daerah Jokowi pun kerap bertamu ke pondok-pondok pesantren dan sejumlah tokoh agama. Itu menjadi bukti komunikasi politik Jokowi dalam hubungannya dengan umat Islam di nusantara agar kembali normal usai efek negatif Pilkada DKI Jakarta 2017.

“Ini menunjukan kemesraan dengan umat Islam dia tunjukan. Dia tidak memiliki segmentasi atau pergeseran apapun, dia diterima di pesantren dan komunitas Islam. Jadi kalau ada alasan untuk membenturkan Jokowi dengan umat Islam itu tak berdasar,” tambahnya.

Jokowi, Islam, dan Menjaga Momentum Pilpres 2019Salah satu kegiatan Presiden Joko WIdodo (tengah baris kanan) menjamu kyai dan ulama di Istana Negara, Jakarta. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Senada dengan Adi, Peneliti Populi Center Rafif Pamenang Imawan menilai Jokowi sebagai sosok yang anti Islam hanya kesalahan persepsi segelintir kalangan.

Mispersepsi ini, katanya, datang dari kelompok fundamentalisme Islam yang melihat kebijakan Jokowi tidak mampu mengakomodasi kepentingan kelompoknya. Padahal, Rafif menilai Jokowi justru merangkul semua golongan dalam Islam.

“Jokowi dianggap tak bisa mengafirmasi norma-norma dari kelompok tersebut, seperti penerapan syariat Islam, pemimpin Islam. Jadi, karena itu dianggaplah dia anti Islam, padahal kan tidak seperti itu. Kebijakannya banyak yang pro-Islam secara umum, bukan untuk satu kelompok saja,” ujar alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.

Tak hanya itu, Rafif menilai bahwa safari politik Jokowi ke ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah dan MUI sebagai strategi membangun citra politik yang humanis sekaligus mendorong Islam moderat tumbuh di Indonesia.

Jokowi merangkul kelompok ini sebagai penegasan bahwa Islam di Indonesia menjunjung tinggi pluralitas dan lebih humanis, bukan islam yang identik dengan kekerasan.

“Safari NU, Muhammadiyah dan MUI sebagai penegasan bahwa dia bagian dari islam, artinya Jokowi sadar bahwa kelompok Islam ini beriringan dengan Jokowi punya kebijakan kesana, Jokowi ingin memastikan negara ini masih berada pada kelompok-kelompok yang pro moderat,” tambahnya.


Menambah Insentif Suara Kelompok Islam di Pilpres 2019

Adi mangatakan, kemesraan Jokowi dengan kelompok Islam berpeluang menaikkan insentif elektoral suara kelompok Islam sekaligus menjaga tren positif untuk kepentingan pemilu 2019 mendatang.

“Jokowi sudah di atas angin jika terus mempertahankan jalinannya dengan kelompok Islam sampai 2019 nanti,” ujarnya.

Guna menjaga hal ini, kombinasi kelompok nasionalis yang melekat pada Jokowi dan cawapres yang berasal dari kelompok Islam dinilai dapat meredam potensi konflik sosial yang terjadi. Sebab kedua kelompok tersebut merupakan kekuatan terbesar di negeri ini. Untuk itu, Jokowi, disebutnya harus bisa mengelola konflik untuk meredam potensi gesekan dan friksi menjelang pemilu 2019 yang akan semakin marak.

“Jokowi harus belajar dari Ahok, jadi warning aja,” ujar Adi. “Jokowi harus pandai menjaga momentum baik ini dengan kerja nyata, meningkatkan lagi dukungan parpol, kan sudah banyak parpol yang dukung, plus hubungannya dengan umat Islam harus dijaga," imbuhnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER