Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan wakilnya Sandiaga Uno diminta konsentrasi membenahi sarana angkutan umum massal. Hal itu dimaksudkan agar sepeda motor atau ojek tidak diandalkan sebagai transportasi dan mengurangi kemacetan.
"Pemda DKI harusnya mengedukasi pentingnya manfaatkan transportasi umum, bersepeda, dan berjalan kaki. Bukan membiarkan sepeda motor menjadi sarana angkutan umum yang andal, seperti ojek," kata pakar transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno kepada
CNNIndonesia.com, Senin (13/11).
Djoko menilai kepadatan kendaraan di Jalan Jenderal Sudirman-M.H. Thamrin juga tergantung tarif
electronic road pricing atau ERP. Menurutnya, jika tarif ERP motor lebih rendah dari mobil, Jakarta justru akan tambah macet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau (tarif ERP) lebih rendah dan masih terjangkau, pasti masih banyak yang lewat," katanya.
Sebaliknya, kata Djoko, jika tarif ERP untuk sepeda motor lebih mahal dari kendaraan roda empat, bisa jadi pengguna roda dua berpikir ulang sebelum berkendara. "Tapi tarif seperti itu, mustahil diterapkan. Nanti dikira diskriminasi," ujarnya.
Dia pun menyarankan, kebijakan terkait ERP seharusnya bisa dipercepat penerapannya, begitu pula dengan aturan ganjil genap yang seharusnya bisa diperluas.
"Jakarta itu fokusnya sekarang lebih baik mereka menuntaskan persoalan angkutan umum karena orang dibatasi tentu harus ada alternatifnya. Kalau enggak ada alternatif, tentu menyusahkan," katanya.
Pekan lalu, Anies-Sandi berencana mencabut larangan pelintasan sepeda motor di Jalan Sudirman-Thamrin. Larangan tersebut tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 141 Tahun 2015 sebagai pengganti Peraturan Gubernur Nomor 195 Tahun 2014 tentang pelarangan perlintasan sepeda motor di jalan protokol. Pergub itu diterbitkan oleh gubernur pendahulunya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Anies-Sandi beralasan, pelarangan tersebut cukup diskriminatif karena membatasi penggunaan jalan bagi kendaraan bermotor roda dua. Mereka pun mengedepankan prinsip berkeadilan dalam rencana mencabut pergub itu.
Sabtu (11/11) lalu, Sandi pun menyebut akan menerapkan congestion tax alias pajak kemacetan untuk mengatasi kesemrawutan lalu lintas di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman-M.H. Thamrin.
Sejatinya, kata Sandi, pajak kemacetan sama saja dengan ERP yang tak sempat diterapkan di era kepemimpinan Ahok. ERP itu ia tegaskan juga harus bisa digalakkan kepada pengguna sepeda motor.
 Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menilai, pajak kemacetan sama saja dengan ERP yang tak sempat diterapkan di era kepemimpinan Ahok. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru) |
Berdasarkan data Rencana Induk Transportasi Jabodetabek, total perjalanan orang di Jabodetabek tahun 2015 sebesar 47,5 juta perjalanan orang per hari. Jumlah kendaraan bermotor di kawasan Jabodetabek sebanyak 24.897.391 unit dengan proporsi 2 persen angkutan umum, 23 persen mobil pribadi dan 75 persen sepeda motor.
Sedangkan pergerakan dalam kota Jakarta 23,42 juta orang per hari, pergerakan komuter 4,06 juta orang per hari dan pergerakan lainnya (melintas Jakarta dan internal Bodetabek) sebanyak 20,02 juta orang per hari.
Dari data tersebut, kata Djoko, berbagai permasalahan pun ditemukan. Pertama, tingkat kemacetan perkotaan semakin tinggi karena sepeda motor makin dominan, serta angkutan umum makin menurun karena perannya rendah.
Kedua, peran angkutan massal belum maksimal karena bus rapid transit baru mencapai 2-3 persen, sedangkan KRL Jabodetabek 3-4 persen.
Ketiga, infrastruktur angkutan massal sangat terbatas, pengadaan bus dan KA masih belum memenuhi kebutuhan perjalanan (travel demand).
"Jika Pemprov DKI Jakarta hanya berkutat untuk membenahi transportasi di Kota Jakarta saja, dipastikan tidak mendapatkan hasil yang optimal," katanya.
Dalam memperbaiki kualitas angkutan umum, Djoko menyarankan Pemprov DKI bisa belajar dari operasional KRL Jabodetabek tahun 2013. Saat itu, kata Djoko, ada sekitar 300 ribu penumpang KRL per hari dan ditetapkan tarif murah. Alhasil, hanya dalam kurun tiga tahun, penumpang KRL melonjak tiga kali.
Area parkir stasiun dipenuhi kendaraan pribadi. Sembari layanan terus diperbaiki, perlahan tarif KRL dapat dinaikkan.
"Hal yang sama sebenarnya dapat diterapkan transportasi umum berbasis bus," ujar Djoko.
Selagi menata transportasi umum memadai, menurutnya, Pemprov DKI dapat membatasi gerak kendaraan pribadi, seperti tarif parkir tinggi, three in one, pajak kendaraan tinggi, pajak proresif, ganjil-genap, ERP.
"Keterbatasan ruang jalan di Jakarta tidak memungkinkan semua jenis moda transportasi diberi kesempatan yang sama," katanya.
Oleh sebab itu, kata Djoko, pilihan keberpihakan ditujukan pada moda transportasi yang lebih efisien dan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang paling sedikit, seperti bus, sepeda dan pejalan kaki.
Angkutan umum punya karakter dan keterbatasannya sendiri, sehingga kebijakan transportasi harus bisa menyinergikan semua jenis moda agar keunggulan masing-masing moda dapat maksimal memberi manfaat.
"Pembatasan dapat dilakukan jika penggunaan tiap jenis moda dirancang untuk saling melengkapi dan bukan saling berkompetisi," ujarnya.
(pmg/djm)