Jakarta, CNN Indonesia -- Survei Wahid Foundation mengungkapkan bahwa jumlah perempuan intoleran lebih sedikit daripada laki-laki intoleran.
"Perempuan lebih banyak mendukung hak kebebasan menjalankan ajaran agama atau kepercayaan dibanding laki-laki," Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Senin (29/1).
Hal itu didasarkan atas survei Wahid Foundation terhadap 1500 responden pada 6-27 Oktober 2017 di 34 Provinsi. Jumlah responden diambil berdasarkan gender seimbang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simpulan tersebut muncul dari sejumlah pertanyaan terhadap responden. Pertama, dalam hal skor potensi radikalisme. Potensi ini didapat dari pengukuran terhadap sejumlah kategori yakni keikutsertaan dalam perencanaan dan pelaksanaan razia tempat maksiat, demonstrasi terhadap kelompok yang dinilai menodai atau mengancam kesucian Islam, meyakinkan orang lain untuk memperjuangkan syariat Islam.
Selain itu, menyumbang dalam bentuk materi untuk kelompok yang dipandang sedang memperjuangkan ditegakkannya syariat Islam, melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain, dan membantu kelompok Islam memprotes pihak yang dianggap menista Islam.
 Ratusan anggota ormas kepemudaan dan LSM adat berunjuk rasa menentang ormas yang dianggap radikal, di depan kantor Gubernur Sulut di Manado, Sulawesi Utara, Selasa (21/2). ( ANTARA FOTO/Adwit B Pramono) |
Hasil survei pada tiap pertanyaan itu bentuknya skor potensi radikalisme. Skalanya terbagi empat jenis. Tidak bersedia radikal (0-25), tidak punya sikap (25,1-50), bersedia radikal (50,1-75), dan radikal (75,1-100).
"Rata-rata skor potensi radikalisme 2017 berada pada 12,4 atau dalam kategori tidak bersedia radikal. Jika dibandingkan laki-laki, rata-rata potensi radikalisme di kalangan perempuan lebih rendah, yakni laki-laki 13,7, dan perempuan 11,1," urai Yenny.
Kedua, dalam hal dukungan terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama. Sebanyak 79 persen responden menyatakan setuju.
Dari angka itu, responden perempuan menjadi yang terbanyak memberi dukungan (80,7 persen) dibandingkan responden laki-laki (77,4 persen).
Ketiga, dalam hal sikap terhadap ide jihad kekerasan, sebanyak 13,2 persen responden mendukungnya. Rinciannya, 14 persen pria, dan 12,4 persen perempuan.
Keempat, potensi kelompok yang tidak disukai. Perempuan diketahui memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai (53,3 persen) dibandingkan dengan laki-laki (60,3 persen).
Wahid Foundation memberikan 10 nama kelompok yang tidak disukai yakni Komunis, LGBT, Yahudi, Kristen, Ateis, Syiah, Cina, Wahabi, Katolik, dan Budha.
"Perempuan memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai dibanding laki-laki. Penting karena kelompok yang tidak disukai jadi indikator intoleransi," kata Yenny.
Hanya saja, pada pertanyaan tentang dukungan terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) radikal, responden perempuan menyatakan dukungan lebih banyak ketimbang laki-laki.
Dari total 9 persen responden yang mengaku pro-ormas radikal, 10,5 persen respondennya adalah perempuan, dan 7,8 persen adalah pria.
 Aksi 212 yang menuntut pemberhentian Basuki T. Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI akibat kasus dugaan penistaan agama, 2017. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Yenny menyebut, tujuan survei ini sendiri adalah untuk mengukur potensi toleransi, Intoleransi dan radikalisme sosial keagamaan di kalangan perempuan Muslim di Indonesia.
"Perempuan memiliki kunci dari negara hingga dunia dan sebagai kelompok strategis dalam agen perdamaian. Survei ini menunjukkan perempuan intoleran lebih sedikit dibandingkan laki-laki," ujar putri dari mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut.
Meski begitu, Yenny mengatakan, pria yang bersikap radikal memiliki dampak yang besar terhadap keluarga dan perempuan, dan sebaliknya.
"Kalau ada perempuan radikal, dampaknya lebih kecil ketimbang laki-laki," tutup dia.
(arh)