Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas menyatakan keheranannya dengan sikap Presiden Joko Widodo yang saat ini tengah mengkaji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Perppu MD3). Menurutnya, penerbitan Perppu perlu penomoran terlebih dulu atas UU MD3 yang sudah disahkan bersama dengan pemerintah.
Selain itu, dengan menerbitkan Perppu MD3, maka sama saja menegasikan 'kehadiran' Jokowi selaku kepala pemerintahan dalam proses pembahasan bersama parlemen. Sebab, pembahasan UU MD3 dilakukan DPR bersama pemerintahan.
"Kehadiran pemerintah itu mewakili presiden, itu artinya kalau itu yang terjadi maka presiden tentu dari sisi kepemimpinannya kita ragukan," kata Supratman di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Supratman menduga alasan belum ditandatanganinya UU MD3 karena Jokowi belum memahami pasal-pasal yang menjadi kontroversi di publik.
Pasal-pasal yang mendapat sorotan publik antara lain Pasal 73 tentang pemanggilan paksa, Pasal 122 poin k tentang penghinaan terhadap parlemen, dan Pasal 245 tentang hak imunitas anggota dewan.
Padahal di antara pasal-pasal tersebut diklaim Supratman merupakan usulan dari pemerintah. Dia melihat ada upaya pencitraan yang tengah dilakukan Jokowi terkait polemik pasal-pasal yang bermasalah tersebut.
"Yah bisa saja (pencitraan), bayangkan menteri hadir ikut membahas, yang mengusulkan pemerintah menyangkut hak imunitas untuk penegasannya, pengecualiannya," kata Politikus Gerindra ini.
Contohnya, kata dia, Pasal 73 terkait pemanggilan paksa, pada mulanya DPR hanya mengatur untuk pejabat negara dan pemerintah. Namun pemerintah disebut ingin itu diberlakukan untuk semua warga negara atau setiap orang.
"Jadi kalau pemerintah dalam hal ini presiden mau mengingkari yah biarkan saja publik menilai pemerintah, presiden tidak konsisten terhadap orang yang sudah ditugaskan untuk membahas itu dalam mengambil keputusan," ujarnya.
Presiden Joko Widodo belum mau menandatangani UU MD3 yang sudah disahkan karena masih menunggu pendapat para ahli yang sudah ia perintahkan untuk mengkaji ada tidaknya kegentingan dalam undang-undang tersebut.
Jokowi mengatakan, dari hasil kajian nanti, tak menutup kemungkinan jika UU tersebut diganti menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Namun penerbitan Perppu harus sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945. Dalam pasal itu penerbitan Perppu harus mengandung unsur kegentingan yang memaksa, dan mendapat persetujuan DPR.
(osc)