Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai rencana Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Perppu MD3) tidak ada urgensinya.
"Ya enggak ada (urgensinya). Apa masalahnya?" kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/3).
Menurut Fahri, persoalan belum ditandatanganinya hasil revisi UU MD3 lebih karena Jokowi tidak mau mendengar penjelasan dari DPR maupun partai politik pendukung pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, kata Fahri, hampir semua partai politik pendukung pemerintah kecuali NasDem dan PPP, sepakat terhadap pengesahan revisi UU MD3.
"Habis dengar partai pendukung, baru dengar pimpinan DPR. Pimpinan DPR sudah dua kali kirim surat rapat konsultasi, presidennya tidak mau," katanya.
Fahri menduga Jokowi termakan hasutan dari kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait hasil revisi UU MD3 yang dinilai dapat membungkam masyarakat yang kritis terhadap anggota dewan.
"Membungkam darimana, caranya bagaimana? Nah itu mungkin presiden itu tidak tahu. Mungkin presiden tidak tahu yang namanya Mahkamah Kehormatan Dewan, apa makna dari peradilan etika," ujarnya.
Untuk itu kata Fahri, alih-alih mendengar hasutan LSM yang berada di luar sistem pemerintahan, Jokowi diminta untuk mendengar penjelasan resmi dari pimpinan DPR maupun partai politik pendukungnya di parlemen.
"Saya kira presiden lebih baik memperbaiki manajemen politik dan jalur komunikasinya, daripada beliau berbuat salah dan itu berbahaya buat beliau," ujar Fahri.
Dalam hasil revisi UU MD3, terdapat pasal-pasal yang mendapat sorotan publik antara lain Pasal 73 tentang pemanggilan paksa, Pasal 122 tentang penghinaan terhadap parlemen, dan Pasal 245 tentang hak imunitas anggota dewan.
Presiden Joko Widodo belum mau menandatangani revisi UU MD3 karena masih menunggu pendapat para ahli yang sudah ia perintahkan untuk mengkaji kegentingan UU tersebut.
Jokowi mengatakan, dari hasil kajian nanti, tak menutup kemungkinan jika UU tersebut diganti menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Namun penerbitan Perppu harus sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945. Dalam pasal itu penerbitan Perppu harus mengandung unsur kegentingan yang memaksa, dan mendapat persetujuan DPR.
(wis/ugo)