Jakarta, CNN Indonesia -- Ombudsman Republik Indonesia masih memeriksa dokumen yang diterima dari Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) yang melaporkan peristiwa pertemuan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan Presiden RI Joko Widodo.
Pemeriksaan dilakukan karena menurut Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala, ada beberapa syarat sebelum lembaganya menindaklanjuti sebuah laporan.
Salah satunya adalah mencari data identitas pelapor, dalam hal ini ACTA. Sekaligus, kepentingannya dan hubungan khususnya dengan PSI atau Jokowi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam bahasa sehari-hari, 'Ente siapa?' Maksud saya, harus ada pihak yang berhubungan khusus," kata Adrianus di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Sabtu (10/3).
"Nah, kalau ACTA ini siapa? Perlu ada beberapa hal yang dipenuhi dulu baru kami terima," ujarnya melanjutkan.
Adrianus menuturkan, masih ada kerancuan soal 'siapa' sesungguhnya pihak yang terlapor, apakah PSI atau Jokowi. Hubungan antara ACTA dan PSI pun disebutnya masih belum jelas.
Kedua hal tersebut, ujarnya, harus bisa didefinisikan dengan gamblang.
Syarat lainnya, kata Adrianus, Ombudsman masih harus mengkaji apakah kasus yang dilaporkan ACTA masuk dalam ranah kewenangan Ombudsman. Dia menegaskan, lembaganya murni hanya pengawas pelayanan publik.
Jika pertemuan PSI dan Jokowi di Istana terindikasi melakukan maladministrasi yang merugikan publik, maka Ombudsman bisa bertindak.
Pelaporan dari ACTA saat ini masih dalam tataran asistensi dan belum diterima oleh pimpinan. Oleh sebab itu, Adrianus belum bisa menilai apakah pelaporan tersebut berlebihan atau tidak.
Awal pekan lalu, ACTA melaporkan pertemuan Jokowi dan PSI karena menilai keduanya menggunakan fasilitas negara untuk keperluan kelompok. Menurutnya, istana negara seyogianya digunakan untuk kepentingan orang banyak.
"Terkait membahas bangsa Indonesia solusinya bagaimana. Jadi bukan sekelompok orang seperti ini, diakui pemenangan Pilpres kan tidak boleh. Kok istana negara dibuat untuk hal seperti ini," kata Wakil Ketua ACTA Ali Lubis di Gedung Ombudsman, Jakarta, Senin (5/3).
(eks)