Jakarta, CNN Indonesia -- Serapan anggaran di Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta per triwulan I 2018 paling rendah dibanding kelompok satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lainnya. Padahal, mereka punya sejumlah program pembebasan lahan dan pembelian alat berat pada tahun ini.
Berdasarkan data https://publik.bapedadki.net dilansir pada Rabu (4/4), serapan anggaran lembaga yang dikepalai Teguh Hendrawan itu baru mencapai Rp65 miliar, atau 1,99 persen dari total alokasi belanja langsung-tidak langsung Rp3,2 triliun. Hal itu pun diakui oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"SKPD yang paling rendah capaiannya, padahal anggarannya besar adalah Dinas SDA. Di situ belum jalan. Siang ini ada rapat khusus soal itu," kata Anies di Gedung DPRD DKI, Rabu (4/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anies menyebut, penyerapan anggaran per akhir Maret 2018 baru mencapai 8,23 persen. Sedangkan penyerapan anggaran pada periode yang sama tahun lalu sebesar 7,65 persen.
Menurut Anies, penyerapan anggaran sebesar 8,23 persen itu jauh dari target Wakil Gubernur Sandiaga Uno, yang menetapkan serapan APBD DKI 2018 mencapai Rp20 triliun tiap kuartal.
"Dibandingkan tahun lalu ini lebih tinggi. Dibandingkan target, tidak," ujar Anies.
Anggaran belanja langsung digunakan Dinas SDA antara lain buat pembebasan lahan dan pengadaan alat berat. Anies pun menginstruksikan Dinas SDA untuk berhati-hati melakukan pembelian lahan supaya terhindar dari masalah hukum atau sengketa.
Upayanya adalah dengan proses pengadaan barang melalui Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemprov DKI (BPPBJ DKI), serta sistem e-katalog.
"Salah satunya, kita tidak mengizinkan ada kegiatan-kegiatan terkait pengadaaan tanah yang dilakukan secara cash (tunai). Tidak bisa lagi mengunakan uang tunai," kata Anies.
Ditemui terpisah, Teguh pun tak menampik penyerapan anggaran lembaganya memang cenderung rendah pada Januari hingga pertengahan tahun. Hal itu lantaran pembelian lahan membutuhkan proses panjang. Langkah itu antara lain verifikasi dan validasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebelum eksekusi.
"Ketika wilayahnya sudah dapat atau sudah lebih dulu divalidasi yang di Jakarta Timur, misalnya, ya kami bayar," kata Teguh.
Teguh menyatakan lebih baik penyerapan anggaran agak terlambat tetapi dilakukan secara berhati-hati.
"Misalnya, kita lagi enak-enak nih verifikasi data, sosialisasi, validasi BPN, tiba-tiba ada gugatan hukum. Anda pilih mana? Makanya saya bilang kita harus
clear-kan," ujar Teguh.
(ayp/gil)