ANALISIS

Peluang Cak Imin, Anies, dan Gatot Dampingi Prabowo

SAH | CNN Indonesia
Kamis, 12 Apr 2018 10:11 WIB
Elektabilitas Prabowo dari sejumlah lembaga survei masih kalah dengan Jokowi. Di satu sisi, jika Prabowo jadi maju, maka harus mencari cawapres yang tepat.
Ketua Umum Prabowo Subianto menyatakan kesiapan maju Pilpres 2019. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Jakarta, CNN Indonesia -- Partai Gerindra resmi mengusung Ketua Umum Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden (capres) di Pilpres 2019. Prabowo pun menerima mandat pencapresan dari partainya tersebut.

Kesiapan Prabowo maju Pilpres 2019 berpotensi mengulang kompetisi yang terjadi di Pilpres 2014. Presiden Joko Widodo dalam hal ini sudah mendapat dukungan sejumlah partai politik agar melanjutkan periode kepemimpinan.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai Prabowo akan sulit berhadapan dengan Jokowi di Pilpres tahun depan. Di atas kertas Jokowi akan lebih mudah untuk memenangkan pertarungan di 2019.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu tak lepas dari elektabilitas keduanya dalam survei beberapa lembaga. Hasil survei-survei itu menunjukkan elektabilitas Prabowo masih berada di bawah Jokowi yang memiliki tingkat keterpilihan antara 35 persen hingga di atas 50 persen.

"Kalau dilihat dari dinamika politik saat ini agak berat untuk Prabowo head to head dengan Jokowi dari banyak hal. Mulai dari elektabilitas, hingga dukungan partai politik (parpol) dan seterusnya, itu jauh kalah dari Jokowi," kata Adi saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui telepon, Rabu (11/4).

Untuk dapat bersaing dan memenangkan Pilpres 2019, menurut Adi, langkah awal yang harus dilakukan Prabowo adalah memenuhi aturan ambang batas presiden atau presidensial threshold sebanyak 20 persen kursi di DPR.

Meskipun belum deklarasi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) diindikasikan akan merapat dengan Gerindra. Gerindra dan PKS, kata Adi, sejauh ini beriringan dalam pandangan politik. Jika Gerindra resmi menggandeng PKS, maka persoalan pemenuhan kuota 20 persen ambang batas bukan menjadi masalah.

"Yang paling realistis Prabowo harus mencari dukungan 20 persen dulu karena pencapresannya tidak aman karena Gerindra kurang sekitar 35 kursi untuk menggenapi kursi," terang dia.
Prabowo di Antara Dilema Maju Capres dan Persoalan CawapresJokowi dan Prabowo dinilai akan kembali bertarung di Pilpres 2019. (CNN Indonesia/Christie Stefanie).

Memilih Cawapres yang Tepat

Lepas dari urusan koalisi, Prabowo juga dihadapkan pada dilema memilih pasangan duetnya di Pilpres 2019. Menurut Adi, Prabowo harus bisa meyakinkan PKS agar legowo bahwa dirinya tak akan memilih nama cawapres yang disodorkan PKS.

Adi menilai, dari sembilan nama capres dan cawapres yang ditawarkan PKS, tidak ada satu pun yang bisa meningkatkan elektabilitas Prabowo. Kesembilan nama dimaksud itu, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Fungsionaris PKS M. Anis Matta, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno, Presiden PKS Muhammad Sohibul Iman, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufri, Anggota DPR Tifatul Sembiring, Anggota DPR Al Muzammil Yusuf MS, dan Anggota DPR Mardani Ali Sera.

"Masalahnya, PKS yang sembilan orang itu angkanya cukup rendah elektabilitasnya, hanya di kisaran nol koma sekian persen. Jadi cukup dilematis kalau menggandeng PKS, partainya dibutuhkan tapi calon dari mereka tidak ada yang mumpuni," kata dia.

Prabowo dituntut jeli memilih cawapres guna mendongkrak elektabilitasnya. Belakangan muncul beberapa nama yang berpotensi berpasangan dengan mantan Danjen Kopassus tersebut, di antaranya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaiminn Iskandar, mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo, dan Gubernur DKI Anies Baswedan.

Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin Iskandar, berpotensi mengerek elektabilitas Prabowo dengan PKB di belakangnya. Menurut Adi, PKB merupakan representasi partai berbasis Nadhatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi masa terbesar di Indonesia dengan jaringan dan dukungan luas. Dukungan PKB sebagai partai politik pun akan cukup solid dan kuat.

Namun, Adi berpendapat, Cak Imin memiliki keinginan yang jauh lebih besar untuk mendampingi Jokowi ketimbang Prabowo. Jika Cak Imin kemudian memutuskan beralih ke kubu Prabowo, hal itu tak lebih dari sekadar bentuk pelarian, bukan pilihan politik yang rasional.

"Saya membacanya Cak Imin hanya maunya sama Jokowi. Kalau pun akhirnya sebagai cawapres ke Prabowo itu sebagai bentuk pelarian saja, bukan sebuah pilihan yang rasional. Kalau mau sama Prabowo itu mestinya dari dulu kan," jelas Adi.
Prabowo di Antara Dilema Maju Capres dan Persoalan CawapresMantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo menjadi salah satu nama yang bakal diprediksi jadi cawapres Prabowo. (CNN Indonesia/Hesti Rika).
Nama yang paling realistis adalah Gatot dan Anies, kata Adi, yang juga sama-sama berpotensi menaikkan elektabilitas Prabowo. Dua sosok tersebut sangat mungkin dikapitalisasi untuk mengangkat tingkat keterpilihan Prabowo terutama dengan menggunakan sentimen kedekatan dengan kelompok Islam.

"Suka tidak suka, Gatot ini diasosiasikan dekat dengan kelompok Islam, begitu juga dengan Anies, kemenangan dia di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, ditengarai karena dukungan umat Islam yang berlimpah. Artinya Anies dan Gatot masih bisa dikapitalisasi untuk mendongkrak elektabilitas Prabowo," kata dia.

Senada dengan Adi, pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)Ubedilah Badrun menilai Gatot dan Anies dinilai cocok untuk mendongkrak elektabilitas Prabowo. Menurutnya Anies dan Gatot sama-sama memiliki basis massa yang cukup besar, terutama dari kalangan Islam.

"Kelompok 212 kan cukup banyak ya memberikan dukungan kepada Gatot dan Anies, jadi itu punya potensi juga untuk mendongkrak elektabilitas," ujar Ubed dihubungi terpisah.

Ubed menambahkan usia Anies yang masih muda juga menjadi keunggulan tersendiri untuk mengerek elektabilitas. Anies pun dapat menarik segmen-segmen masyarakat di kalangan muda dan profesional.

Kelemahan Gatot dan Anies

Kendati demikian baik Gatot dan Anies pun sama-sama dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan Gatot menurut dia berasal dari latar belakang militernya dan tidak punya dukungan parpol.

"Problemnya dia militer. Dalam logika sosiologi politik di Indonesia itu kalau capres militer itu biasanya wakilnya sipil meskipun dikotomis sipil-militer sudah tidak berlaku, tetapi jauh di alam bawah sadar bangsa ini masih pertimbangkan itu," kata Ubed.

Sementara untuk Anies, selain tidak memiliki dukungan parpol seperti halnya Gatot, dia juga baru sebentar menjabat Gubernur DKI Jakarta. Apabila ia melenggang menjadi cawapres Prabowo, masyarakat mempertanyakan etika politiknya.

"Ada persoalan etika politik kalau dia mau menjadi cawapres, tetapi fakta historisnya ada sosok Jokowi, dia juga waktu itu baru dua tahun jadi Gubernur DKI sudah jadi Presiden. Jadi ruang kemungkinan tetap ada," kata Ubed. (osc/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER