Jakarta, CNN Indonesia -- Pekerja homoseksual dihadapkan pada lingkungan kerja yang kerap memandangnya sebelah mata. Perundungan dari rekan kerja dan perlakuan tak adil dari perusahaan kerap menerpa. Padahal, pekerja tersebut memiliki kompetensi dan hak asasi.
Satrio (bukan nama sebenarnya) sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Pekerjaannya ini membikin dirinya kerap bertemu banyak orang.
"Sangat menyenangkan bertemu dengan banyak orang, kita bisa belajar banyak hal dari mereka," kata lelaki 28 tahun itu, kepada
CNNIndonesia.com saat mengawali pembicaraan pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satrio tampak bersemangat, tak malu-malu bercerita tentang kehidupannya kepada orang baru. Salah satunya soal perbedaan orientasi seksual.
"Iya, pasangan aku (seorang laki-laki) juga sama bekerja di bidang yang sama. Tapi kami beda kantor," ujar Satrio terang-terangan.
Sebagai penyuka sesama jenis, Satrio mengaku tak mempunyai beban lebih dari segi pertemanan dengan rekan sejawat. Dia bilang teman-temannya sudah menerima dia apa adanya.
"Dulu
banget iya kan ada penolakan sana sini, masih dianggap aneh, cuma perlahan semua sudah pada terbuka kok,
They have accept me for who I am (mereka menerima saya apa adanya)," ujar dia.
Atasan Satrio pun tak terlalu mempermasalahkan orientasi seksual yang ia pilih. Hak cuti dan kewajiban lainnya tetap ia jalani seperti biasa dengan karyawan lainnya.
"Ya, kerjaan ku juga bagus-bagus
aja kok di kantor, yang penting dapet klien, aku
selesain. Cuti dan gaji lalinnya sama saja. Ya se-
simple itu," ujar Satrio.
 Aksi demo Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Muslim (AM3), di depan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 5 Mei 2016. (CNN Indonesia) |
Beda dengan Satrio, Imam (nama disamarkan) punya cerita yang berbeda. Lelaki yang umurnya setahun lebih muda dari Satrio itu mengaku pernah menerima perlakuan tidak menyenangkan di kantor, lantaran diketahui sebagai seorang homoseksual atau
gay.
"Saya pernah dipindahkan ke cabang lain karena mereka tahu saya seorang
gay," kata Imam dengan terbata-bata.
Saat itu, satpam dari sebuah bank tempat ia bekerja memergoki Imam dan kekasihnya sedang berduaan. Satpam itu melapor ke atasan dan akhirnya Imam dipindahkan.
"Saya enggak
ngerti salah saya apa, toh saya enggak ganggu mereka. Tapi ini di bank ini saja, kantor saya sebelumnya enggak begini," ujar dia.
Mendapat perlakuan seperti itu, Imam mengaku tak dapat berbuat apa-apa. Untungnya, tempat ia bekerja sekarang lebih bisa menerima dirinya, baik antarkaryawan dan dengan atasan.
Hanya saja di beberapa kesempatan, Imam mengaku mendapat kerap mengalami perundungan (
bullying) oleh beberapa temannya. Ada kalanya Imam merasa marah, tapi kadang juga tidak.
"Kalau yang
bully orang dekat enggak masalah, tapi kalau saya enggak terlalu kenal dan
bully saya, malah teman-teman [dekat] saya yang maju belain saya," tegas dia.
Dari pengalaman ini, Imam berharap agar tetap mendapat perlakuan yang sama meski dia seorang
gay. Dia mengatakan kalau dia punya kecakapan dan keterampilan yang baik, dan berani diadu dengan pegawai lainnya.
"Orientasi seksual enggak menular. Jangan pernah
ngejauhin orang kaya aku ini. Karena aku merasa misalnya cowok-cowok takut sama aku di tempat kerja. Padahal aku sama mereka juga belum tentu tertarik," kata dia.
Hak SetaraKoordinator Subkomisi Pemajuan HAM/ Komisioner Pendidikan & Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menyatakan setiap pekerja berhak mendapatkan perlakuan dan hak yang baik di perusahannya. Perusahaan tak boleh mengucilkan atau meminggirkan seseorang atau segelintir pihak hanya karena orientasi seksualnya yang berbeda.
"Orientasi seksual adalah termasuk hak asasi yang dilindungi dan tidak boleh didiskriminasi. Kalau kemudian ada tekanan dari perusahaan atas dasar perbedaan orientasi seksual, maka perusahaan tersebut berpotensi melanggar HAM," tegas Beka.
Sejauh ini, belum ada laporan khusus dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang mendapat kekerasan dalam pekerjaan. Mereka, kata Beka, cenderung tidak berani untuk bersuara.
"Tapi banyak yang memang mengadu secara informal melalui diskusi atau komunitas. Mereka diperlakukan tidak adil seperti pemecatan semena-mena," ungkap Beka.
 Komunitas Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) memperingati International Day Againts Homophobia, Biphobia dan Transphobia (IDAHOT) di Bundaran HI, Jakarta, Minggu, 17 Mei 2015. ( Safir Makki) |
Sedianya yang bisa diatur pemerintah dalam hal ini adalah pembatasan perilaku seksual. Contohnya, bisa diatur agar ada pelarangan berdua-duaan di tempat umum atau melakukan perbuatan asusila di tempat banyak orang.
"Tidak serta merta karena mereka satu kantor terus mereka bisa langsung (maaf) peluk-pelukan depan banyak orang. Ini yang harus dijaga," tegas Beka.
Ketua Umum Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Rudi HB Daman mengatakan pihaknya tak mengotak-kotakkan buruh dalam pembagian orientasi seksual. Dia mengatakan, persatuan buruh menghormati apapun itu pilihan seorang buruh.
"GSBI terbuka bagi semua buruh, tidak membedakan suku, agama, ras, kepercayaan, politik, jenis kelamin dan sebagainya. Termasuk orientasi seksualnya. Itu pilihan individunya," ungkap Rudi.
Rudi menilai kondisi buruh yang menganut LGBT belum sepenuhnya terbuka. Begitu pula dengan perusahaan masih banyak yang enggan menerima anak buahnya menjadi seorang LGBT.
"Mereka diperlakukan diskriminasi dan PHK dengan alasan lain, terutama jika sudah jadi gunjingan banyak pihak. Pasti ada saja alasannya," ujar dia.
Dia berharap perusahaan bisa melihat buruhnya dari kompetensi buruh tersebut. GSBI, kata Rudi akan siap berjuang bersama jika ada buruh yang mendapat diskriminasi.
"Biarlah hal-hal yang lain soal orientasi seksualnya menjadi keputusan pribadi saja. Kita tidak ikut campur," tandas dia.
(ayp/arh)