ANALISIS

Palagan Akhir Prabowo dan Pertaruhan Janji di Hadapan Buruh

Bimo Wiwoho | CNN Indonesia
Rabu, 02 Mei 2018 09:43 WIB
Prabowo disebut harus mengajukan ide serta janji yang lebih diwujudkan, ketimbang gagasan yang terlampau abstrak hanya buat memikat rakyat.
Prabowo disebut harus mengajukan ide serta janji yang lebih diwujudkan, ketimbang gagasan yang terlampau abstrak hanya buat memikat rakyat. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bakal calon presiden yang diusung Partai Gerindra Prabowo Subianto baru saja menandatangani kontrak politik dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Prabowo menjanjikan bakal memenuhi sepuluh tuntutan kelompok buruh jika kelak terpilih sebagai presiden, dengan imbalan mendapatkan dukungan kaum kerah biru dalam Pilpres 2019.

"Perjanjian apabila saya terpilih sebagai presiden, saya akan menjalankan kebijakan yang mensejahterakan rakyat dan kaum buruh. Dan mereka menyampaikan sepuluh tuntutan," kata Prabowo di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (1/5) kemarin.

Salah satu janji dalam sepuluh kontrak politik itu menyatakan Prabowo bertekad menghapus sistem alih daya (outsourcing). Kemudian, di luar sepuluh kontrak politik tersebut, Prabowo juga berikitikad mengambil alih sumber daya yang kini dikuasai asing atau nasionalisasi aset.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menganggap janji Prabowo di hadapan buruh tersebut cenderung utopis atau sulit terealisasi, namun akan mati-matian dia gelorakan janjinya --tak lebih demi membetot perhatian masyarakat dan mendongkrak elektabilitas.

Adi memperkirakan tahun depan bakal menjadi laga terakhir Prabowo dalam Pilpres. Kemungkinan besar dia tidak akan maju kembali di Pilpres 2024 lantaran sudah berumur (saat ini berusia 66 tahun) dan kemungkinan ada kandidat lain yang jauh lebih muda.

"Dia akan habis-habisan untuk menang di 2019. Apa pun caranya, sekali pun janji itu utopis dan bombastis," kata Adi kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (1/5) kemarin.

Adi menilai janji Prabowo untuk melakukan nasionalisasi aset asing sulit terwujud. Sebab, perusahaan asing beroperasi di tanah air sudah meneken kontrak dengan pemerintah dan bersifat jangka panjang. Misalnya kontrak yang mengikat dalam rentang waktu 30 sampai 40 tahun.


Hal itu dinilai bakal menjadi sandungan bagi Prabowo jika berkeras mewujudkan niatnya melakukan nasionalisasi aset secara sepihak.

"Kalau memutus kontrak begitu saja misalnya, kita bisa dituntut di pengadilan internasional. Kita bisa kalah dan malah ganti rugi," ujar Adi.

Di sisi yang lain, ada pula sumber daya alam yang belum mampu dikelola oleh pemerintah Indonesia. Alasannya karena teknologi dan sumber daya manusia. Tidak ada yang bisa menjamin seluruh sumber daya alam akan terkelola dengan baik jika tidak mendapat bantuan dari negara lain. Butuh waktu agar Indonesia benar-benar dapat mengelola berbagai sumber daya alam secara mandiri.

"Sementara presiden hanya memiliki masa jabatan lima tahun saja," kata Adi.

Terpisah, Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menyoroti soal janji Prabowo menghapus sistem alih daya. Emrus menilai hal itu masih abstrak, sebab Prabowo tidak menegaskan apakah pekerja kontrak bakal diangkat menjadi karyawan tetap atau justru malah nasibnya tidak jelas.


Jika memang para karyawan outsourcing akan diangkat menjadi karyawan tetap perusahaan, maka Prabowo pun mesti membuat tahapan yang terukur. Misalnya, apakah Prabowo bakal mengangkat seluruh karyawan outsourcing menjadi karyawan tetap atau tidak. Di sisi lain, Prabowo juga dianggap belum memperhitungkan efek jika terjadi penolakan dari kalangan swasta atas idenya.

"Masyarakat harus kritis dalam melihat janji politik. Kebiasaan politisi hanya sekadar berjanji," ucap Emrus.

Menerawang Langkah Prabowo Selanjutnya

Adi menduga Prabowo beserta partai politik pendukungnya bakal terus mengumbar janji politik yang cenderung utopis. Menurut Adi, misi tersebut memang wajar dilakukan karena Prabowo ingin bertarung habis-habisan di Pilpres 2019.

"Persoalan bisa direalisasikan atau tidak itu belakangan," ujar Adi.


Adi menyatakan taktik itu bisa berjalan karena karakter masyarakat Indonesia yang tidak suka menagih janji politik di kemudian hari. Menurut dia hanya segelintir kelompok masyarakat yang rajin memantau dan menagih janji seorang presiden dilontarkan saat kampanye. Celah itulah yang dimanfaatkan politikus.

"Masyarakat kita ini memorinya pendek. Jadi setelah pilpres, udah selesai. Jadi abai terhadap janji politik atau bahkan dilupakan," ujar Adi.

"Semangatnya oke, tapi dalam praktiknya susah. Sekalipun ada janji utopis, itulah memang yang selalu dipakai kelompok politik," lanjutnya.

Adi juga menganggap Prabowo beserta pendukungnya bakal terus menyerang kelemahan serta mencari-cari kesalahan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebab menurut Adi, Prabowo saat ini tidak memiliki riwayat prestasi yang menonjol dibanding Jokowi. Padahal, kata Adi, akan jauh lebih indah jika pilpres para kandidat beradu prestasi masing-masing, dan tidak hanya menjabarkan program-program.

"Tapi itulah strategi politik kelompok oposisi. Cenderung menyerang atau tidak mau menawarkan prestasi yang dimiliki oleh prabowo. Itu jauh lebih menarik daripada hanya menyerang," kata Adi.

Emrus menyarankan Prabowo tidak mengumbar sembarang janji jika ingin bertarung dalam 2019 mendatang. Menurutnya, masyarakat juga tidak mudah terkena tipu daya. Jika menyatakan janji yang tidak rasional, maka menjadi bumerang bagi Prabowo.


"Justru bakal membuat repson menjadi tidak baik kepada beliau. Apalagi masyarakat juga sudah bisa melihat Jokowi yang sudah terbukti kinerjanya," ujar Emrus.

Prabowo, kata Emrus, memang bisa melontarkan janji apapun. Namun, alangkah baiknya jika itu semua telah diukur dan dianalisa bisa atau tidak untuk diterapkan. Selain itu, Emrus menilai Prabowo sebaiknya merumuskan program yang tidak biasa. Dengan kata lain, harus memiliki target melebihi apa yang sudah dikerjakan Jokowi selama ini. Emrus memberi contoh, jika Jokowi telah membangun jalan tol sepanjang 80 ribu kilometer dalam lima tahun, maka Prabowo harus melebihi hal itu.

Jika tidak menawarkan hal lebih dari yang telah dikerjakan Jokowi, masyarakat tentu akan berpaling dari Prabowo. "Misalnya juga, meningkatkan kesejahteraan dari sekian sampai sekian. tapi itu semua juga harus terukur," kata Emrus. (ayp/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER