Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah orang yang mengklaim sebagai relawan calon presiden 2019 mulai bermunculan. Mereka mendeklarasikan diri mendukung jagoan yang akan diusung pada pemilihan presiden 2019.
Sebut saja, kelompok relawan yang baru saja mendeklarasikan diri seperti Relawan Jokowi (Rejo), Relawan Golkar-Jokowi (GoJo) yang mendukung Joko Widodo. Kemudian Relawan Selendang Putih Nusantara, dan relawan Gatot Nurmantyo untuk Rakyat (GNR), pendukung mantan Panglima TNI jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Ada juga, relawan Dunsanak Prabowo, kelompok relawan pendukung Prabowo Subianto.
Dari Makassar, muncul Komunitas Millenial Kawasan Timur Indonesia yang mendeklarasikan mantan Ketua KPK Abraham Samad sebagai calon presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, ada relawan #2019GantiPresiden yang belum menyebut nama calon presiden.
Fenomena kemunculan relawan menjelang pemilihan presiden 2019 bukanlah barang baru. Jauh sebelum tahun 2018, kelompok relawan seperti Seknas Jokowi, ProJo, dan BaraJP telah lebih dulu eksis saat mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla di pemilihan presiden 2014.
Pengamat politik dari Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jerry Sumampouw berpendapat fenomena munculnya relawan saat ini berbeda dengan masa lalu, terutama dari tujuannya. Perjuangan kelompok relawan saat ini, Kata Jerry, bisa dikatakan tak 'murni' lagi.
Jerry bahkan, mengatakan ada kecenderungan relawan-relawan tersebut hanya mencari keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan momentum tahun politik.
"Kalau yang sekarang (relawan) banyak diorganisir, menjadi ajang untuk cari uang. Yang dimaksud adalah aktor-aktor yang mengelola, namun memang belum kita teliti apakah itu ada tapi menurut saya kecenderungan ke situ ada," kata Jerry kepada
CNNIndonesia.com, Senin (7/5).
Dulu, kata Jerry, relawan muncul begitu saja. Masyarakat membuat organisasi dan mencari dana secara kolektif.
"Dana-dana untuk aktivitas mereka buat modal mereka, mereka kumpulkan sendiri," kata Jerry.
Selain itu, Jerry juga mengatakan, ada juga kecenderungan relawan ini sengaja dibentuk oleh tokoh-tokoh partai politik untuk mencuri start kampanye pemilihan presiden. Sebab, dengan menggunakan nama relawan, partai tidak akan kena teguran dari penyelenggara pemilu, KPU.
"Saya melihat dari konteks yang sekarang, calon yang sekarang diinisiasi oleh partai politik tertentu untuk kepentingan politiknya untuk menyiasati kampanye. Ini kan model kampanye yang tidak akan ditindak pelanggaran aturan karena yang melakukan adalah masyarakat,"kata Jerry.
Masa kampanye Pilpres hingga saat ini masih belum dimulai. Sesuai aturan PKPU, masa kampanye Pilpres baru dimulai pada 23 September 2018, dan berakhir 13 April 2019.
Lagipula, dari sisi efektivitas kerja partai politik, relawan lebih mudah menggaet dukungan masyarakat ketimbang memakai baju partai. Orang kemungkinan akan lebih tertarik bergabung dengan relawan, ketimbang partai politik.
"Efektivitasnya ditentukan oleh dari seberapa murni dia dari masyarakat," kata Jerry.
Kata Jerry, sangat mudah untuk mengukur 'kemurnian' perjuangan relawan, salah satunya bisa dilihat dari tingkat anarkis yang ditimbulkan dari relawan. Menurutnya, relawan dari perkumpulan masyarakat yang murni berjuang tidak akan menggunakan cara-cara intimidasi ataupun tindakan anarkis kepada lawannya.
Pengamat politik Pusat Penelitian Politik (LIPI), Siti Zuhro menambahkan saat ini sulit untuk membedakan relawan yang bekerja demi kepentingan ekonomi dengan relawan yang benar-benar rela meluangkan waktu, dan tenaga mencapai tujuan tertentu.
Apalagi, menurut Siti, selama ini di dunia politik dikenal idiom 'tak ada makan siang gratis'.
(ugo/sur)