Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan
Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorime
Arsul Sani menyatakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat untuk memperluas pasal penindakan terhadap terduga teroris.
Dalam kesepakatan itu, perluasan berlaku untuk penegakan hukum dan pidana materiil. Arsul menjelaskan salah satu bentuk perluasan kewenangan penegakan hukum adalah perpanjangan masa tahanan terduga teroris ditambah menjadi 14 hari.
Arsul mengatakan polisi bisa menambah masa tahanan menjadi 21 hari apabila polisi merasa penyidikan masih belum tuntas. Arsul menyebut dalam beleid sebelumnya, masa tahanan hanya tujuh hari. Artinya terdapat penambahan masa tahanan sebanyak 7 sampai 14 hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terduga teroris sampai ditetapkan menjadi tersangka teroris itu bisa ditahan 14 hari bahkan sampai 21 hari. Setelah ditetapkan tersangka maka dia bisa ditangkap," kata Arsul di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (15/5).
Sementara perluasan pidana materiil, Arsul menyebut pidana materiil merupakan pasal-pasal yang dapat memidanakan terduga teroris. Dalam pasal ini diatur apabila seseorang terlibat atau terasosiasi dengan jaringan terorisme, maka kepolisian bisa langsung menangkapnya.
"Di UU yang baru asal bisa dibuktikan dia terasosiasi dan terkoneksi oleh kelompok atau organisasi teroris maka itu bisa proses dipidana karena perbuatan pelatihannya itu dikonstruksikan untuk perbuatan persiapan melakukan teror," jelas Arsul.
 DPR dan pemerintah sepakat memperluas kewenangan aparat tangani teroris. (ANTARA FOTO/Humas Mabes Polri) |
Pasal ini dibuat agar Polisi bisa melakukan tindakan preventif dan pre-emtif. Arsul menyinggung sebelumnya Kapolri
Tito Karnavian mengeluh pihak kepolisian tidak bisa bertindak preventif karena tidak ada landasan hukum di UU No. 15 Tahun 2003 yang mengatur pihak kepolisian bisa mempidanakan seseorang yang berkaitan dengan perbuatan persiapan tindak teroris.
"Perbuatan persiapan itu contohnya orang yang sudah berbaiat atau menyatakan diri ikut suatu organisasi atau kelompok yang merupakan kelompok teroris. Kemudian dia melakukan pelatihan pelatihan militer. itu kalo menurut undang-undang sekarang tidak bisa dipidana," kata Arsul.
Anggota Pansus RUU Terorisme
Nasir Djamil berharap
Badan Intelijen Negara (BIN) harus bekerja lebih keras untuk mengumpulkan informasi mengenai asosiasi seseorang dengan jaringan teroris.
Pengumpulan informasi ekstra ini dilakukan agar polisi tak salah tangkap orang yang ternyata tidak terasosiasi dengan jaringan teroris.
Nasir menyebut laporan intelijen ini harus kuat karena dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam pengadilan terorisme. Nasir juga menyebut definisi terorisme penting untuk dimasukan ke dalam RUU Terorisme agar Polisi tidak sembarangan menangkap orang.
"Jadi polisi dan BIN harus memilah informasi dan mengumpulkan informasi yang kuat dan lebih terpadu. Informasi ini penting untuk menentukan apakah orang-orang tersebut itu sudah berbaiat dan terasosiasi dengan satu jaringan terorisme di Indonesia," kata Nasir.
 Polisi dan BIN didesak lebih proaktif soal info teroris. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) |
Kewenangan Aparat Sudah Terlalu TinggiPengamat kepolisian dari Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar menilai kewenangan yang diberikan kepada aparat penegak hukum dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sudah tinggi.
Bahkan menurutnya regulasi tersebut sudah memberikan kewenangan yang besar bagi aparat penegak hukum untuk menegakkan keadilan bagi para terduga pelaku terorisme.
 Pengamat menilai kewenangan polisi tak perlu diperluas. (Adhi Wicaksono) |
Dia pun mempertanyakan kewenangan yang diharapkan oleh aparat penegak hukum lewat revisi UU Terorisme atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait terorisme.
"Undang-undang terorisme yang ada sekarang ini sudah cukup tinggi atau besar memberi kewenangan penegak hukum untuk menentukan keadilan hukum bagi teroris, terus mau ditambah kewenangan apa lagi?" kata Bambang lewat pesan singkat kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (15/5).
Dia berpendapat langkah merevisi atau menerbitkan regulasi pengganti untuk menegaskan sejumlah poin yang ada di dalam UU Terorisme bukan hal utama dalam upaya melawan salah satu kejahatan luar biasa tersebut.
Menurut Bambang, terorisme harus dilawan dengan melahirkan keadilan hukum, kesejahteraan, dan keberpihakan pemerintah kepada negara dan bangsa.
Dia juga berkata, penegakan hukum di Indonesia tidak boleh bersifat tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
"Untuk melawan terorisme yang diutamakan bukan perppu atau undang-undang yang keras untuk menindak," ujarnya.
Bambang pun mengaku khawatir dengan beberapa poin-poin baru yang akan dimuat dalam regulasi hasil revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau Perppu.
"Terutama terkait poin definisi atau batasan teroris yang berpotensi meluas dalam penindakan," katanya.
 Polri tak bisa jamin adanya perluasan kewenangan bisa jamin bebas dari terorisme. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) |
Terpisah, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Inspektur Jenderal
Setyo Wasisto mengatakan hasil revisi UU Terorisme bersifat mendukung upaya-upaya penindakan.
Dia mencontohkan Polri memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pidana kepada pihak yang terbukti ikut bertempur di Suriah.
"Kami mengharapkan undang-undang tidak bersifat responsif tapi bersifat pro aktif. Artinya, kami bisa menindak kalau kami tahu dia pulang dari Suriah dan ada bukti di sana dia ikut tempur, ada foto, video, atau keterangan saksi. Sudah pasti dia bisa dikenakan tindak pidana," ucap Setyo, Selasa (15/5).
Menurutnya, regulasi yang ada saat ini membatasi ruang gerak polisi dalam mendeteksi terorisme. Dia berkata, regulasi tidak mengizinkan pihaknya untuk mengambil langkah hukum bila pelaku tidak melakukan tindakan.
"Sekarang kami hanya bisa mengendus, melihat, mencium baunya saja tapi bertindak enggak bisa. Sudah tahu kami Dita itu balik dari Suriah, tetapi undang-undang mengatakan sebelum dia bergerak tidak boleh ada upaya paksa," ucapnya.
Namun demikian, Setyo tidak menjawab secara lugas jika revisi regulasi terorisme ini akan menjamin Polri bisa mengantisipasi seluruh tindakan terorisme.
Setyo mengklaim semua upaya hukum dalam pemberantasan terorisme yang dilakukan polisi membutuhkan peran serta masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
"Yang bisa menjamin semua (
zero incident) siapa?Kami harus bersama sama dan yakin baik teman wartawan, masyarakat, Polri, dan TNI bersama-sama," ujar dia.
(dal/gil)