Sosiolog Khawatir Stigma Perempuan Bercadar Usai Aksi Teror

CNN Indonesia | CNN Indonesia
Rabu, 16 Mei 2018 19:37 WIB
Stigma terhadap suatu kelompok dikhawatirkan jadi pemecah masyarakat setelah rententan aksi teror yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia sejak pekan lalu.
Stigma terhadap suatu kelompok, termasuk perempuan bercadar, dikhawatirkan jadi pemecah masyarakat setelah rententan aksi teror yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia sejak pekan lalu. (Ilustrasi/AFP PHOTO/MOHAMMED AL-SHAIKH)
Jakarta, CNN Indonesia -- Stigma terhadap suatu kelompok dikhawatirkan menjadi pemecah kerukunan masyarakat setelah rententan aksi teror yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia sejak pekan lalu.

"Tujuan utama teroris menimbulkan ketakutan dalam masyarakat, dari munculnya ketakutan itu masyarakat akan terbelah. Lalu, modal sosial dalam masyarakat yaitu trust akan runtuh, masyarakat saling curiga, menimbulkan konflik. Nah itu yang diinginkan teroris," ujar sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert saat diwawancara CNNIndonesia TV, Rabu (16/5) malam.


Itu pula, sambungnya, yang meminta kewaspadaan munculnya stigma negatif terhadap perempuan bercadar usai sejumlah aksi teror bom bunuh diri di Surabaya yang melibatkan masing-masing satu keluarga pada Minggu (14/5) dan Senin (15/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Robertus mengatakan salah satu bahaya dari aksi terorisme bukan hanya korban jiwa maupun luka. Hal terparah, kata dia, adalah modal sosial yang runtuh di tengah masyarakat. Masyarakat, kata dia, jadi saling curiga sehingga menimbulkan konflik.

"Tadi itu menunjukkan prasangka lalu stigmatisasi, over generalisasi muncul di masyarakat kita. ini yang bahaya dari terorisme yang harus dicegah," ujar Robertus.

Terkait stigma tersebut, salah satu yang muncul adalah viralnya seorang perempuan bercadar yang diturunkan dari bus di Terminal Gayatri, Tulungagung. Kejadian itu terjadi pada Senin (14/5) siang.

Kepala Terminal Gayatri, Oni Suryanto, mengatakan petugas menurunkan perempuan bercadar membawa tas itu karena mencurigakan dan tak mengenakan alas kaki saat masuk dan hendak naik ke dalam bus tujuan Ponorogo.

"Saat itu dia terlihat kebingungan, tapi saat ditanya tidak mau menjawab," kata Oni, Selasa (15/5) seperti dikutip dari Antara.

Setelah dibawa ke dalam ruang kantor, kepada petugas, perempuan berinisial SAN itu mengaku siswa salah satu pesantren yang ingin pulang ke Ponorogo tanpa ketahuan pengurus pondok.

"Jadi bukan karena penumpang yang takut dan tak mau wanita itu naik di bus. Tetapi karena mencurigakan, akhirnya diminta turun dulu oleh petugas," imbuhnya.

Terkait peristiwa itu, Kabag Humas Polres Tulungagung Inspektur Satu Sumaji mengatakan informasi penurunan penumpang dari atas bus itu telah dipelintir sehingga menjadi hoaks.


Menanggapi peristiwa itu tersebut, Robertus mengatakan soal penggunaan cadar sendiri masih menjadi hal yang pro dan kontra. Di satu sisi, adalah hal kontra terkait keamanan dan di sisi lain yang pro karena menyangkut hak perempuan dalam berbusana serta bagian dari kelompok kebudayaan yang harus dilindungi.

"Memang terkait persoalan terorisme ini persoalan tersebut menjadi komplek dan rumit karena muncul stigmatisasi terhadap mereka yang menggunakan cadar," ujarnya.

Ia mengaku perempuan pengguna cadar lebih menonjol stigmanya dibandingkan pelaku teroris yang mengklaim ingin menegakkan perintah agama dari pihak pria. Pasalnya identitas yang terlihat dari penampilan luar, sambungnya, masyarakat lebih menerima kelompok pria di tengah mereka.

"Trauma dan kengerian yang ditimbulkan dari bom bunuh diri itu mencekam pandangan publik tentang perempuan bercadar. tindakan bom bunuh diri itu begitu membekas, menimbulkan trauma pada masyarakat sehingga menimbulkan bobot yang lebih berat dari stigma itu," katanya.

Namun, Robertus menegaskan aksi terorisme bukan aksi yang merujuk pada ajaran agama melainkan berdasarkan ideologi radikalisme yang tertanam dalam benak para pelaku. Untuk mengatasi hal tersebut, Robertus menyarankan agar muncul dialog di tengah masyarakat termasuk yang dijembatani para tokoh agama serta organisasi kemasyarakatan.

"Masyarakat harus mengakrabkan diri satu sama lain, terbuka satu sama lain. Itu satu-satunya cara [menghilangkan stigma]," katanya. "Untuk mencegah over generalisasi, berdialog, bertanya."


Pada Selasa (15/5), usai menyampaikan hasil sidang isbat, eri Agama Lukman Hakim Saifudin meminta agar perempuan pengguna cadar memahami kondisi sebagian masyarakat saat ini yang mungkin memiliki pandangan tertentu menyusul terjadinya serangan bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur selama dua hari terakhir.

"Tentu bagi pengguna cadar itu sendiri, agar betul-betul bisa memahami situasi dan lingkungannya karena sekarang sebagian masyarakat kita ada semacam keresahan atau kekhawatiran, atau mungkin bahkan kecurigaan terhadap mereka-mereka yang menggunakan cadar," kata Lukman di Kantor Kementerian Agama, Jakarta.

Lukman mengimbau kepada pengguna cadar menjaga sikapnya agar tidak menarik perhatian. Menag mengimbau, mereka bisa memberi rasa aman terhadap sekitar dan menunjukkan bahwa tidak semua pengguna cadar berbuat atau melakukan tindakan teror. Para perempuan pengguna cadar, kata Lukman, juga harus bisa membaur seperti biasa, terutama di lingkungan sekitarnya.

"Sehingga semua kita merasa aman meskipun ada sesama kita yang menggunakan cadar," ujarnya.

Di sisi lain Lukman mengimbau masyarakat tak perlu merasa risau, khawatir, bahkan curiga terhadap sosok bercadar. Lukman juga meminta masyarakat untuk menghormati seseorang yang menggunakan cadar karena alasan keyakinan pemahaman keagamaan.

"Oleh karenanya, terhadap saudara-saudara kita yang menggunakan cadar, kita hargai dan hormati dia karena itu adalah haknya untuk melaksanakan pengamalan dari pemahaman agama yang dimiliki dan diyakininya," kata Lukman. (kid/sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER