Jakarta, CNN Indonesia -- Sosok juru kunci pernah menjadi salah satu bagian penting bagi masyarakat yang tinggal di lereng
Gunung Merapi. Perannya dipercaya menjadi penjaga keselamatan Bumi Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta). Juru kunci atau kuncen Merapi yang paling dikenal Publik adalah Mbah Maridjan.
Pernyataanya soal status gunung api paling aktif itu selalu didengar warga. Hingga pada 2010, saat letusan besar Merapi yang turut merenggut nyawa pria bernama asli Mas Penewu Surakso Hargo itu.
Setelah Mbah Maridjan meninggal, peran juru kunci seakan tenggelam oleh abu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Merapi kala itu. Padahal, Keraton Ngayogyakarta pada April 2011 telah menunjuk Kliwon Suraksohargo Asihono atau yang akrab disapa Mbah Asih sebagai pengganti Mbah Maridjan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mbah Asih merupakan putra ketiga Mbah Maridjan.
Lantas, kenapa saat ini peran juru kunci seakan terlupakan?
Menurut Mbah Asih erupsi yang terjadi pada 2010 memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat di lereng Gunung Merapi. Ratusan nyawa melayang dalam peristiwa itu.
"Warga masyarakat di sini sudah trauma dengan kejadian di tahun-tahun yang lalu," kata Mbah Asih saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Rabu (23/5).
Dari peristiwa erupsi Merapai pada 2010, kata Mbah Asih, masyarakat kini lebih disiplin atas informasi yang disampaikan pihak-pihak berwenang seperti Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Selain karena informasi yang disampaikan lebih rinci, akurasinya juga lebih bisa dipercaya dan diterima masyarakat karena berdasarkan data-data empirik.
"Jadi, sekarang masyarakat sangat tanggap. Mereka selalu siap. Informasi dari BPPTKG, BNPB itu, kan, lebih valid dan rinci," kata dia.
Namun demikian, Mbah Asih mengatakan berbagai hal yang bersifat batiniah dan telah melekat pada diri masyarakat lereng Gunung Merapi tetap hidup hingga saat ini.
Mbah Asih menjelaskan jika warga merasa Gunung Merapi akan bergejolak, mereka akan mengevakuasi diri secara mandiri tanpa didahului informasi pihak terkait.
"Mungkin kalau ada suara yang kurang enak di hati, mereka juga turun tanpa tunggu instruksi," kata Mbah Asih.
Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman menyebut sedikitnya dua faktor yang membuat peran juru kunci Gunung Merapi saat ini seakan telah hilang. Pertama, terkait minimnya ekspose terhadap sang juru kunci.
Seperti diketahui, peran Mbah Marijan sebagai Juru Kunci Gunung Merapi semakin diketahui masyarakat luas, khususnya masyarakat di luar Yogyakarta, setelah erupsi yang terjadi pada 2006.
Saat terjadi erupsi, Mbah Maridjan memilih menyepi di pelataran Srimanganti yang berada di lereng selatan Gunung Merapi meskipun Sultan Hamengkubuwono (HB) X telah memintanya untuk turun gunung.
 Juru kunci Merapi, Mbah Asih tengah mengikuti upacara adat. (Detikcom/Ristu Hanafi) |
Mbah Marijan enggan menuruti perintah Sultan HB X karena telah diperintah oleh sultan sebelumnya, yakni Sultan HB IX, agar menjaga merapi. Ia pun berusaha menepati janji itu hingga akhir hayatnya.
Setelah erupsi, ternyata Mbah Marijan tetap dalam keadaan baik-baik saja.
Dari sinilah kisahnya tersebar. Setiap ada persoalan yang terkait dengan Gunung Merapi, Mbah Maridjan pun turut dimintai pendapat.
Nama Mbah Maridjan semakin melambung karena menjadi salah satu bintang iklan produk minuman energi. Pemerintah Jerman yang tengah menggelar Piala Dunia bahkan pernah berniat mengundang Mbah Maridjan untuk hadir di acara pembukaan Piala Dunia 2006. Namun, Mbah Maridjan menolak.
"Ketokohannya (Mbah Maridjan) itu jadi menarik dan diekspose oleh media. Meskipun belum ada penelitian, tapi dugaan saya, tokoh yang seperti itu sekarang hampir tidak ada," kata Sunyoto.
Faktor selanjutnya, kata Sunyoto, yakni perubahan pola pikir atau pandangan masyarakat setempat.
Menurut Sunyoto pasca erupsi 2010 yang mengakibatkan banyak korban, Pemerintah DIY, Sleman, Boyolali, Magelang, dan Klaten cukup intensif melakukan sosialisasi terkait bencana dan penanggulangannya. Kemudian, ada juga inisiatif dari warga menjadikan lokasi erupsi sebagai tempat wisata.
Langkah itu berperan penting dalam merasionalisasi pemikiran masyarakat setempat. Mereka pun jadi lebih terbuka terhadap pandangan yang lebih rasional, termasuk pandangan terkait bencana yang berbasis pada data dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Secara teori, kan, ada ruang-ruang (pemikiran) baru yang terbentuk, lalu diisi kebiasaan kebiasaan baru. Kalau hal itu terjadi terus-menerus, lama-kelamaan (masyarakat) menjadi rasional, terbuka, mengandalkan ilmu dan informasi," kata Sunyoto.
 Petugas Pos Pengamatan Gunung Merapi. masyarakat kini lebih percaya pada informasi yang dikeluarkan lembaga kegunung apian. (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho) |
Meskipun peran teknologi dan ilmu pengetahuan sudah lebih diterima masyarakat lereng Gunung Merapi, namun peran juru kunci tidak lantas hilang sepenuhnya.
Kata Sunyoto, masih ada sebagian masyarakat yang mempercayai peran juru kunci. Keyakinan itu secara mendalam melekat di diri generasi yang lebih tua.
Selain itu, juru kunci diyakini tetap memiliki peran selama keyakinan yang bersifat metafisik tetap dilestarikan oleh pemerintah daerah dan warga setempat. Misalnya seperti melestarikan mitos terkait garis imajiner yang menghubungkan antara Merapi, Tugu Jogja, Keraton, dan Pantai Parangtritis.
Sunyoto menyebut mitos tersebut masih hidup dan bertahan hingga saat ini meskipun Yogyakarta sangat berkembang.
"Mereka menerima (hal baru) tapi tetap mempertahankan tradisi yang lama. Setiap perubahan di masyarakat selalu seperti itu, akan terjadi tarik menarik (perubahan pandangan lampau dengan yang baru)," kata Sunyoto.
(wis/sur)