ANALISIS

Ancaman Golput dan Harapan Politik yang Berulang

SAH | CNN Indonesia
Rabu, 27 Jun 2018 08:47 WIB
Pengamat menilai potensi ancaman Golput sangat mungkin terjadi di Pilkada 2018 jika berkaca pada ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan daerah saat ini.
Ilustrasi pemungutan suara. (ANTARA FOTO/ Nunung Purnomo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hari ini, Rabu (27/6), sebagian masyarakat Indonesia menentukan nasib daerah mereka untuk lima tahun mendatang. Mereka akan memilih calon kepala daerah yang diharapkan bisa memberi jalan keluar atas sejumlah permasalahan tengah dihadapi.

Walau demikian, nada sumbang dan sikap pesimis tetap ada di benak masyarakat terhadap pemilihan kepala daerah. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari kenyataan buruknya praktik otonomi daerah yang diterapkan selepas reformasi.

Otonomi daerah yang diharapkan menjadi pelecut supaya pemerintah daerah berlomba-lomba membangun daerah dan masyarakatnya sebaik mungkin malah kenyataannya berbeda. Yang justru muncul adalah fenomena kepala daerah yang menjelma menjadi 'raja kecil', dan cuma mementingkan diri dan lingkaran dekatnya. Hal itu menjadi semakin buruk ketika di beberapa daerah terjadi praktik politik dinasti. Keterbukaan dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah seakan hanya menjadi mimpi masyarakat yang berharap sejahtera.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai saat ini sudah 95 kepala daerah terjerat rasuah dan pencucian uang. Mereka tersebar di 22 provinsi di Indonesia dengan jabatan Gubernur, Bupati, Walikota atau Wakil.

Maka tidak heran kalau gerakan antipati atau golongan putih (golput) terhadap ajang pemilihan kepala daerah, bahkan hingga pemilihan umum, selalu terjadi. Namun demikian, sejumlah kalangan mencoba menangkal golput karena hal itu pun diangap tidak menyelesaikan masalah.

Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai terdapat dua kemungkinan penyebab gerakan Jangan Golput ini marak di media sosial. Pertama adalah karena kurangnya sosialisasi Pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menurut dia tidak sedikit masyarakat yang tidak mengetahui Pilkada Serentak 2018. KPU menurut dia hanya mengandalkan baliho, media sosial, dan televisi untuk mensosialisasikan Pilkada.


"Padahal belum tentu semua masyarakat punya akses ke sana semua, banyak yang tidak nonton TV, yang tidak punya medsos, banyak juga yang tidak lihat baliho ya mereka yang tinggal di perkampungan," ujar Ubedillah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (26/6) kemarin.

Gerakan ini, kata Ubed merupakan salah satu cara untuk mensosialisasikan Pilkada agar tingkat partisipasi masyarakat bisa tinggi pada hari pencoblosan.

"Gerakan itu adalah bentuk kegelisahan dari penyelenggara pemilu karena khawatir masyarakat banyak yang tidak milih gitu," ujar dia.

Partisipasi yang rendah dalam Pilkada menurut dia bakal berbanding lurus dengan tingkat legitimasi yang kurang baik. Misalnya, apabila yang memilih hanya 60 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) di suatu daerah, hal itu menunjukan kepala daerah terpilih tidak memiliki legitimasi yang kuat secara sosial politik di sana.


Ubedillah mencontohkan jika di satu daerah terdapat 30 juta pemilih terdaftar, dan yang memilih hanya 17 juta. Lantas suaranya dibagi kepada empat kandidat. Hal itu menunjukan hanya sedikit masyarakat yang mengakui kepala daerah itu.

"Itu kan masalah, legitimasi kurang mantap meski secara hukum tetap sah, tapi legitimasi tidak meyakinkan secara demokrasi," ujarnya.

Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan gerakan tersebut muncul akibat kekhawatiran rendahnya partisipasi masyarakat pada hari H Pilkada. Menurut dia kekhawatiran itu muncul akibat banyaknya oknum yang mengkampanyekan Pilkada itu tidak penting bagi rakyat.

"Banyak yang mengatakan bahwa Pilkada ini hanya mainan elite yang tidak ada kaitan langsung terhadap masyarakat, misal soal kemiskinan, akses terhadap pekerjaan," ujar dia.

Ia menjelaskan gerakan Jangan Golput harusnya bisa mendapatkan imbal balik yang baik dari para kepala daerah terpilih nantinya, untuk menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin. Pemimpin yang terpilih, menurut Adi, harus memikirkan masyarakat yang kehidupan sehari-harinya sulit, bukan malah sibuk memperkaya diri sendiri.


"Gerakan itu jadi masukan bagi pasangan calon jangan hanya asyik dengan dunianya memperkaya kelompok dan partai politiknya tapi pikirkan rakyat," ujar dia.

Imbas Terhadap Peta Politik

Menurut Ubedillah, gencarnya gerakan Jangan Golput ini menunjukan kekhawatiran apabila mayoritas pemilih memutuskan untuk golput, maka dapat mengubah peta politik Pilkada 2018 mendatang.

Menurut dia ketika masyarakat cenderung apatis, para pasangan calon kepala daerah dan para pendukungnya bakal kehilangan suara. Hal itu bakal mengakibatkan perolehan suara mereka menjadi tidak optimal.

Golput Ilustrasi pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah. (ANTARA FOTO/Maulana Surya)

"Sehingga sebetulnya semuanya yang punya kepentingan untuk meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat," kata dia.

Di sisi lain, Adi menilai jumlah golput pada Pilkada mendatang tidak akan terlalu banyak mempengaruhi peta politik. Hal itu karena ia optimistis jumlah masyarakat yang Golput tidak akan banyak.

"Silent majority itu tidak terlampau banyak, paling 20 persen. Masih terlampau banyak masyarakat yang ikut berpartisipasi," terang dia.

Adi meyakini masyarakat bakal tetap menggunakan hak suaranya pada hari pencoblosan. Dia berkaca pada Pilkada di 2015 dan 2017 yang tingkat keikutsertaannya di atas 65 persen.

"Tingkat partisipasinya cukup tinggi, meski tidak banyak berkonfrontasi di media sosial dan mengkampanyekan pasangan calon tertentu mereka akan datang kok ke TPS itu, " terang dia.

(ayp/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER