Tes Pasar Politik JK dan Fragmentasi Suara Golkar

SAH | CNN Indonesia
Sabtu, 07 Jul 2018 12:45 WIB
Mendekati masa pendaftaran Pilpres 2019, tampak kedekatan JK dengan Anies Baswedan yang semobil dalam beberapa kesempatan. Ia juga sempat bertemu SBY.
Mendekati masa pendaftaran Pilpres 2019, tampak kedekatan JK dengan Anies Baswedan yang semobil dalam beberapa kesempatan. Ia juga sempat bertemu SBY. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Belakangan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) mengumbar kedekatannya dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Keduanya sering tampil bersama dalam beberapa kesempatan.

Terakhir, pada Rabu (4/7), keduanya berbagi ruang dalam satu mobil yang sama. Kala itu, saat Halal Bi Halal Pengurus Pusat Muhammadiyah, Anies datang ke sana menumpang mobil Wakil Presiden JK. Termasuk itu, setidaknya ada tiga kesempatan Anies menumpang mobil JK dalam sebulan terakhir.

Pertama terjadi pada Jumat (29/6) usai kunjungan ke arena Asian Games di Jakarta. Saat itu JK mengantar Anies yang merupakan Gubernur DKI Jakarta ke Balai Kota DKI dengan mobil RI 2. Lalu pada Selasa (3/7) Anies kembali semobil dengan JK saat menghadiri silaturahmi di Kantor PBNU di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tetangga, tetangga kantor, tetangga rumah," dalih Anies perihal menumpang mobil JK ke kantor PP Muhammadiyah yang berada di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (4/7).


Gestur-gestur seperti ini pada akhirnya menimbulkan wacana bahwa kedekatan Anies ini erat kaitannya dengan Pemilihan Presiden 2019 mendatang.

Manuver JK dengan Anies ini jaraknya tidak jauh dengan waktu pertemuannya dengan Susilo Bambang Yudhono beberapa waku lalu. Dari pertemuan dengan SBY tu, santer bahwa Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan bersanding sebagai cawapres untuk JK.

Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai pergerakan JK ke dua sisi (Anies dan AHY) ini merupakan manuver politik untuk mengetes pasar partai politik.

Soal kedekatan JK-Anies, Ubedilah pun menyinggung artikel opini yang pernah ditulis Anies pada medio 2000-an di salah satu media massa. Kala itu, Anies menulis perpolitikan di Indonesia akan banyak dimainkan wirausahawan, dan dalam tulisan itu JK menjadi imajinasi politiknya. Lalu, saat Anies dipilih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk kala mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta, JK disebutkan memiliki peran.

"Kedekatan Anies dengan JK sudah lama. Anies ini seperti anak emas yang ditimang-timang oleh JK. Nampaknya skenario di mana JK menjadi calon presiden dengan wakilnya Anies, dan JK sebagai king maker menjadikan Anies sebagai calon presiden yang akan dijalankan," terang Ubed saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (5/7).

"Kedekatan pemikiran latar organisasi itu kuat juga. JK itu anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Anies Baswedan juga mereka punya kultur organisasi yang sama itu bisa dilihat di situ," imbuhnya.

Tes Pasar Politik JK dan Fragmentasi Suara GolkarJusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono pernah bersanding bersama sebagai pimpinan negara Indonesia periode 2004-2009. Kala itu SBY sebagai presiden, dan JK sebagai wakilnya. (CNN Indonesia/ Safir Makki)

Skenario Politik JK

Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan uji materi yang melarang seseorang menjadi wapres untuk ketiga kali. Atas dasar itu, satu-satunya peluang bagi JK untuk maju menjadi kepala negara adalah sebagai capres, bukan lagi cawapres dalam Pilpres 2019. Di satu sisi, pergerakan JK ini berimplikasi besar terhadap peta perpolitikan nasional secara keseluruhan dan disebutkan menjadi faktor kunci dalam kontestasi Pilpres mendatang.

Ubed menilai ada beberapa skenario terkait manuver JK jelang Pilpres 2019.Skenario pertama, kata Ubed, yakni JK menjadi capres dan Anies sebagai wakilnya. Kalau skenario ini terwujud kemungkinan akan tercipta tiga poros pada Pilpres yakni poros petahana Jokowi, JK, dan penantang Prabowo Subianto.

Skenario kedua, JK tidak maju dan mengusung Anies sebagai cawapres. Pada skenario ini JK kemungkinan besar bakal bergabung dengan kubu Prabowo Subianto dan menjadikan Anies sebagai cawapresnya. Dari skenario ini kemungkinan besar bakal hanya terbentuk dua poros yakni petahana dan oposisi.

Skenario ketiga, yakni JK tidak maju dan mengusung Anies sebagai capres. Skenario ini memungkinkan terbentuknya tiga poros yakni poros petahana, Prabowo, dan Anies. Ubed menilai apabila Anies menjadi capres dengan JK di belakangnya, hal ini dapat membuyarkan dukungan partai politik untuk Jokowi dan Prabowo.

"JK dengan modal poltik dan sosialnya yang berdiri di belakang Anies, dapat membangun koalisi baru. Mungkin PKB, PPP, PAN akan bergeser ke JK. Itu cukup untuk memenuhi ambang batas presidensial untuk mengusung capres," terang dia.

Terdapat kemungkinan juga bila Anies menjadi capres bakal terbentuk dua poros yakni andai JK bergabung dengan Prabowo di mana keduanya menjadi king maker. Nantinya, kata Ubed, dukungan partai-partai bakal lebih besar merapat ke sana.

"Kemungkinan PAN, PKS, Gerindra, PPP, dan PKB juga akan gabung, partai baru seperti Partai Berkarya juga akan bergabung," ujar dia.

Tes Pasar Politik JK dan Fragmentasi Suara GolkarWakil Presiden Jusuf Kalla bersama dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kala meninjau venue sepeda BMX di Rawamangun, Jakarta Timur, 29 Juni 2018. Pulang dari sana, JK mengantar Anies dengan mobilnya menuju Balai Kota DKI Jakarta. (CNN Indonesia/Priska Sari Pratiwi)


Ancaman Terhadap Jokowi

Menurut Ubed ancaman Anies terhadap petahana jika diusung JK sebagai cawapres akan sangat besar. Banyak sekali faktor-faktor ancaman yang dapat membuat petahana harus memeras otak dan modal untuk memenangkan Pilpres 2019.

Jika JK berdiri di belakang Anies bukan tidak mungkin kantong-kantong suara masyarakat Indonesia Timur bakal beralih ke Anies. Sebagai contoh, pada Pilpres 2009, JK-Wiranto berada di urutan buntut dengan perolehan suara sekitar 12,41 persen. Itu juga berasal dari Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara yang notabene memang 'wilayahnya' JK.

Ketokohannya di Partai Golkar pun bukan tidak mungkin dapat mengalihkan suara para pemilih Partai Beringin itu ke Anies Baswedan.

Ancaman selanjutnya, menurut Ubed adalah dari sosok Anies itu sendiri. Pemecatan Anies dari posisi 'pembantu' Jokowi sebagai Mendikbud bisa dikapitalisasi untuk meraih dukungan masyarakat dan menjadi senjata untuk melawan petahana.

"Pengalaman dipecat itu nanti akan terbentuk citra di publik itu, kalau berhasil dikapitalisasi Anies dia bisa berhasil merebut simpati publik," ujar Ubed.

Tes Pasar Politik JK dan Fragmentasi Suara GolkarJoko Widodo (kiri) dan Jusuf Kalla (kanan) tak bisa kembali bersanding sebagai capres-cawapres dalam Pilpres 2019 karena dibatasi konstitusi. Sebaliknya, mereka berpeluang besar menjadi lawan andai JK mencalonkan diri menjadi presiden. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Fragmentasi Suara Golkar

Sementara itu, peneliti senior di Pusat Penelitian Politik LIPI Siti Zuhro menilai manuver JK yang mendekat ke Anies dan kemungkinan membentuk poros sendiri tidak akan membuat perpecahan di tubuh Partai Golkar.

Diketahui, partai berlambang beringin itu telah mendeklarasi mendukung Jokowi sebagai capres di Pilpres mendatang. Bahkan Ketua Umumnya Airlangga Hartarto digadang-gadang menjadi cawapres alternatif untuk Jokowi dalam Pilpres 2019.

Jika nantinya JK memilih 'bermain' di kubu yang berseberangan dengan sikap resmi Partai Golkar, menurut Siti, hal itu hanya akan membuat suara dan kerja mesin partai beringin terfragmentasi. Terutama, sambungnya, suara Golkar di wilayah Indonesia timur.

"Kalau pecah itu konotasinya negatif, kalau melihat manuver Pak JK ini Golkar justru akan terfragmentasi," ujar Siti.

Hal ini bukan pertama kali terjadi. Beberapa kali JK pun bergerak berlawanan dengan Partai Golkar dalam Pilpres. Di Pilpres 2004 misalnya, Golkar secara resmi mendukung Wiranto, namun JK lebih memilih merapat ke SBY sebagai cawapresnya. Kejadian serupa juga terulang di Pilpres 2014 lalu yang mana JK merapat ke kubu Jokowi sebagai cawapres, sedangkan Golkar secara resmi tergabung dalam koalisi Merah Putih mendukung Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.

Menurut Siti, Golkar justru akan bermain dua kaki jika sikap JK seperti di Pilpres 2004 dan 2014. Secara resmi memang Golkar akan mendukung Jokowi dan tergabung dalam koalisi pendukungnnya. Namun, jika pada akhirnya kubu JK lah yang menang, Golkar dinilai akan tetap merapat ke pihak menang.

"Golkar itu terbiasa main di dua kaki atau bahkan lebih meski sikap antara dia dan JK nanti berbeda di Pilpres 2019 dia pasti akan tetap merapat ke yang menang, merapat ke penguasa wong dari dulu sudah seperti itu kok, mana pernah Golkar menjadi oposisi," ujar Siti.

(kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER