'Mata Elang' KPK dan Rontoknya Para Petahana di Pilgub 2018

Bimo Wiwoho | CNN Indonesia
Kamis, 12 Jul 2018 09:53 WIB
Pengawasan yang ketat dari KPK dan Bawaslu, serta ketidakpuasan publik terhadap kinerja petahana diduga memicu tumbangnya 10 petahana di Pilgub 2018.
Ilustrasi kekalahan petahana di Pilgub 2018. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hasil rekapitulasi suara pemilihan gubernur di 17 provinsi menetapkan hanya 2 dari 12 petahana yang memenangkan konstestasi. Petahana yang dimaksud yakni gubernur atau wakil gubernur yang kembali maju di Pilgub 2018

Dari 12 petahana yang bertarung, hanya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan pasangan gubernur-wakil gubernur Papua Lukas Enembe-Klemen Tinal yang berhasil melanjutkan kepemimpinannya. Selebihnya, para petahana di tumbang dari lawan-lawannya.

Kekalahan ini cukup mengejutkan mengingat sebagai petahana, mereka kerap dianggap memiliki popularitas, tingkat keterpilihan, dan modal finansial yang relatif lebih besar dari calon nonpetahana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya menilai fenomena tumbangnya para calon petahana itu disebabkan intensifnya Bawaslu dan Komisi Pemberantasan Korupsi mengawasi praktik politik uang dan korupsi para petahana. 

KPK belakangan ini memang cukup giat menangkap para kepala daerah terkait dugaan korupsi. Pada tahun ini saja setidaknya ada enam kepala daerah ditangkap tangan KPK atas dugaan menerima suap, mulai dari Gubernur Aceh dan Wali Kota Blitar.

Yunarto berasumsi bahwa sebagian besar paslon kepala daerah yang memiliki dana kampanye besar adalah petahana. Namun, ketika pengawasan dilakukan sangat intensif, petahana semakin terjepit untuk mendapat banyak suara dari praktik politik uang.

"ASN diperketat, pengawasan politik uang makin intensif. Jadi, kemewahan petahana jadi tidak terlalu berpengaruh," kata Yunarto saat dihubungi, kemarin.

Yunarto menilai masyarakat juga semakin peka terhadap kinerja kepala daerah yang memimpinnya.

Dia mengatakan bahwa calon petahana biasanya kalah jika ada kejadian luar biasa. Misalnya, kasus kriminal atau korupsi. Akan tetapi, jika tidak ada kejadian tersebut namun petahana kalah, berarti masyarakat menganggap kinerja petahana selama ini memang kurang optimal. Implikasinya, masyarakat ingin pemimpin baru.

Penyebab lain tumbangnya para petahana, menurut Yunarto adalah ketatnya peraturan mengenai aparatur sipil Negara (ASN) atau pegawai negeri sipil (PNS).

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada melarang ASN  ikut berpolitik praktis seperti kampanye. PNS juga sama sekali tidak diperbolehkan menunjukkan keberpihakan kepada salah satu calon kepala daerah.

Yunarto menilai masyarakat juga semakin peka terhadap kinerja kepala daerah yang memimpinnya.

Dia mengatakan bahwa calon petahana biasanya kalah jika ada kejadian luar biasa. Misalnya, kasus kriminal atau korupsi. Akan tetapi, jika tidak ada kejadian tersebut namun petahana kalah, berarti masyarakat menganggap kinerja petahana selama ini kurang optimal.

"Implikasinya, masyarakat ingin pemimpin baru," ujar dia.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai masyarakat memang semakin peka terhadap kinerja kepala daerahnya.

Meski begitu, dia mengatakan bisa saja petahana kalah lantaran belum menjalankan masa jabatan hingga berakhir. Hal itu membuat janji-janji kerja belum terpenuhi semuanya, sementara masyarakat sudah kepalang kecewa.

"Di Lampung, petahananya belum penuh berkuasa 5 tahun, baru 3 tahun. Apakah karena implementasi janji-janjinya belum terpenuhi, tentu perlu dikaji secara spesifik," kata Titi.

Titi lebih menyoroti dekatnya Pilkada 2018 dengan Pilpres 2019. Menurut Titi, ingar bingar Pilpres 2019 yang sudah menjalar di masyarakat turut mempengaruhi kalahnya para petahana di Pilkada 2018.

Titi menjelaskan bahwa partai politik benar-benar bekerja secara serius dalam memenangkan pilkada. Mesin politik dari tingkat pusat hingga daerah tersinergi secara optimal. Selain itu, parpol pun benar-benar mengutus kader paling populer demi merebut posisi kepala daerah.

Itu semua terjadi karena partai politik ingin memenangkan pilkada, pula mengamankan suara untuk Pilpres 2019.

"Andai di daerah A menang, tujuannya bukan hanya untuk memimpin daerah A saja, tetapi juga agar dapat mengkonsolidasikan serta memelihara suara hingga Pilpres 2019," katanya.
(wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER