Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi nonpemerintah menilai rencana pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sebagai gejala lanjutan dari militer yang ingin kembali ke pelbagai sendi kehidupan sipil.
Direktur LBH Jakarta Al Ghiffari Aqsa melihat upaya militer tersebut terjadi di sejumlah sektor dan terus meluas sejak reformasi berhasil menempatkan mereka kembali sebagai alat pertahanan negara.
"Terlibat dalam penggusuran, urusan keamanan, kereta juga jadi pembantu petugas, terlibat dalam penyuluhan pertanian, di kampus, bahkan sempat mau dilibatkan dalam pendidikan dasar," kata Al Ghiffari dalam sebuah diskusi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (3/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Al Ghiffari segala keterlibatan militer pada kehidupan sipil menandakan kemunduran semangat reformasi. Ia melihat tingkat kepercayaan publik yang tinggi kepada militer saat ini mungkin jadi penyebab keinginan militer merangsek ke banyak bidang, termasuk dalam pemberantasan terorisme.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf berkata militer sejatinya tidak dilarang berkegiatan dalam lingkup sipil, hanya saja dibuat seminimal mungkin.
"Boleh jika dan kalau unsur dari Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI terpenuhi," kata Al Araf.
Demi mengantisipasi terorisme, menurut Araf tak masalah menyertakan TNI apabila ancaman yang ditimbulkan sampai ke taraf membahayakan negara.
Namun jika tidak, dia menilai kepolisian masih bisa mengatasinya seperti yang selama ini terjadi. Ia mencontohkan seperti serangan teroris di Marawi, Filipina atau serangan ISIS di Suriah dan Irak.
"Jamaah Islamiyah kan bisa ditangani, pasca-bom Surabaya kan banyak penangkapan juga jadi penegakan hukum sudah bisa menangani," imbuh Araf.
Latar belakang tersebut membuat Araf dan Ghiffari serta organisasi lain seperti KontraS, YLBHI, Setara Institute, Elsam, ICJR, dan beberapa lainnya mendesak pemerintah tak membuat Peraturan Presiden yang mengatur teknis pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Mereka berpendapat pelibatan militer belum diperlukan. Salah merumuskan, mereka justru khawatir wewenang yang dapat dipegang oleh militer tersebut bisa menimbulkan efek samping yang tak diinginkan.
"Kalau salah, saya khawatir ini bisa merusak sistem negara hukum, tata demokrasi, dan HAM yang menimbulkan pertanyaan pada akuntabilitas," kata Ghiffari menutup.
(pmg)