Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua DPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengimbau kepada para tokoh agar tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat menyesatkan pemahaman publik dengan dramatisasi
masalah dan data yang kurang valid.
"Para elit dan tokoh masyarakat diimbau untuk tidak membuat pernyataan yang dapat menyesatkan pemahaman publik maupun pernyataan yang bertendesi mengejek negara dan bangsanya sendiri," Kata Bamsoet melalui keterangan tertulisnya, Senin (6/8).
"Dramatisasi atas ragam persoalan itu berpotensi menyesatkan pemahaman masyarakat atas kondisi riil Indonesia dewasa ini. Sangat disayangkan karena dramatisasi persoalan itu justru digemakan oleh mereka yang berstatus elit atau tokoh masyarakat," Bamsoet menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengakui bahwa saat ini Indonesia masih banyak menghadapi persoalan.
"Namun, tidak selayaknya semua persoalan itu didramatisir sedemikian rupa layaknya Indonesia sedang menghadapi krisis multidimensi," imbuhnya.
 Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, di kawasan Kertanegara, Jakarta, Senin, 30 Juli. ( CNN Indonesia/Safir Makki) |
Pimpinan DPR, kata Bamsoet, tidak menutup mata terhadap fakta masalah-masalah seperti depresiasi rupiah terhadap dolar AS, utang luar negeri (ULN) bertambah, dan kemiskinan warga.
Selain itu, ada jutaan angkatan kerja yang masih berstatus pengangguran terbuka, harga kebutuhan pokok yang fluktuatif karena ulah spekulan, serta korupsi yang masih marak.
"Namun, tidak berarti ragam persoalan klasik itu mencerminkan Indonesia sebagai bangsa yang bodoh atau sakit," tukasnya.
"Pun, semua persoalan itu tidak menyebabkan negara ini dalam kondisi kritis sehingga diasumsikan hampir 50 persen dari total penduduk terperangkap dalam kemiskinan," cetus dia.
Ketua DPR menilai pernyataan-pernyataan tersebut tidak benar dan cenderung menyesatkan.
"Pernyataan-pernyataan itu cenderung menyesatkan karena tidak didukung data kekinian yang bersumber dari institusi negara," ujarnya.
 Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, di Griya Asri Residence, Depok, Selasa (31/7). ( CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
"Pemerintah butuh kritik. Namun, kritik atau kecaman kepada pemerintah hendaknya didukung data yang akurat dan fokus pada persoalan atau kebijakan. Kritik dengan data yang akurat dan fokus pada kebijakan akan memudahkan masyarakat memahami persoalan," jelas politikus Partai Golkar itu.
Sebelumnya, sejumlah tokoh mengkritik kebijakan ekonomi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Misalnya, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang menyoroti sejumlah persoalan ekonomi. Salah satunya adalah soal 40 persen WNI dengan penghasilan paling rendah [bottom forty] dan mengaitkannya dengan kemiskinan.
"Yang paling penting menyangkut ekonomi dan kesejahteraan rakyat adalah penghasilan atau
income dan daya beli golongan orang mampu dan golongan orang miskin yang kita sebut dengan the bottom forty, 40 persen kalangan bawah yang jumlahnya sekitar 100 juta orang," kata SBY saat itu.
Pada Rabu (1/8), SBY menjelaskan soal the
bottom forty, istilah yang dipakai oleh Bank Dunia, yakni 40 persen penduduk golongan bawah. Menurutnya, di negara berkembang yang pendapat per kapitanya belum tinggi, golongan tersebut adalah kaum sangat miskin, miskin, dan di atas miskin.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
Selain itu, ia menyinggung masalah pertumbuhan ekonomi, program pengurangan kemiskinan, lapangan kerja, dan melemahnya nilai rupiah beberapa pekan terakhir.
Sementara, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyentil masalah pengelolaan BUMN yang disebutnya sedang terancam.
(arh/gil)