Cerita Wisatawan Terperangkap Gempa di Gili Trawangan

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Minggu, 12 Agu 2018 19:36 WIB
Kala itu semua penghuni Gili Trawangan berlari menuju satu titik yang sama, dataran yang paling tinggi. Mereka harus bersabar untuk dievakuasi.
Sauasana Gili Trawangan pasca gempa. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hari Minggu adalah momen yang diharapkan penuh kebahagiaan oleh banyak orang. Namun suasana hari Minggu(5/8) seketika berubah menjadi muram saat gempa 7.0 magnitudo menggetarkan pulau Lombok dan sekitarnya. Tak terkecuali Gili Trawangan, salah satu destinasi wisata andalan Pulau Seribu Masjid itu.

Winanto dan keluarganya baru saja menginjakkan kaki di Gili Trawangan, kemudian mengisi perutnya yang lapar. Tiba-tiba goncangan kuat itu datang.

Awalnya Winanto tak mengira itu gempa, sampai akhirnya getaran yang semakin kuat membuat ia dan istri lari tunggang langgang sambil menggendong anaknya yang masih berusia satu tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya langsung lari di tengah reruntuhan. Bangunan ambruk semua," kata Winanto.

Lari, lari, lari. Pikirannya mulai dihantui ketakutan datangnya gelombang tsunami.


Winanto, istri, dan anaknya serta semua penghuni Gili Trawangan kala itu berlari menuju satu titik yang sama, dataran paling tinggi. Di pulau kecil itu hanya sebuah bukit yang sebenarnya tak begitu tinggi.

Sesampainya di kaki bukit, Winanto merasa sedikit tenang dan aman. Sampai akhirnya gempa susulan kembali mengguncang, semua orang kembali panik.

"Awalnya semua tenang, tapi gempa lagi. Terus ada yang teriak, 'air naik, air naik.' Itu mulai tarik-tarikan," ujar Winanto.

Terperangkap Gempa di Gili Trawangan (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)

Bapak satu anak itu tidak bisa menggambarkan bagaimana rasa takutnya kala itu. Saat itu, kebahagian berlibur bersama keluarga tidak terbayang lagi di benak Winanto. Realita yang ada hanyalah malam mencekam.

"Pas di atas gempa susulan enggak berhenti. Setiap gempa susulan, azan berkumandang. Ada yang ngaji, istighfar. Ada yang teriak-teriak nama kerabatnya yang terpisah," kata pria berusia 31 tahun itu.

Embusan angin yang kencang juga membuat suhu terasa dingin. Belum lagi kondisi listrik yang mati pasca gempa.


Di bukit tempat mereka mengungsi juga tak ada apapun. Semua orang hanya membawa dirinya masing-masing. Bahkan ada warga lokal yang hanya mengenakan handuk karena sedang mandi saat gempa terjadi. Ada juga turis asing yang hanya mengenakan bikini.

Meski serba terbatas, winanto memutuskan untuk berada di atas bukit sampai matahari muncul. Ia bergantian berjaga dengan sang istri. Menimang anaknya agar tetap terlelap walau tanpa kasur empuk dan kamar yang hangat yang harusnya ia nikmati di penginapan.

Sepanjang malam ia selalu waspada, takut gelombang tsunami tiba-tiba datang atau gempa yang mengguncang merobohkan tiang Base Transceiver Station (BTS) yang berada di atas bukit.

Evakuasi Tebang Pilih

Sekitar pukul 05.00 WITA, Senin (6/8), Winanto memutuskan turun dari bukit. Dia berpikir harus keluar dari pulau itu secepatnya.

Usai mengambil sisa barang di penginapan, Winanto langsung menuju ke pelabuhan. Orang-orang sudah berkumpul. Beberapa kapal sudah datang.

Sama seperti Winanto, semua orang yang berada di pulau itu ingin segera keluar karena berada di Gili Trawangan buat mereka kala itu sama seperti terisolasi. Tidak ada apapun. Listrik, air bersih, semua tidak tersedia.

"Saya sempat kecewa dengan pernyataan yang mengatakan orang-orang di Gili tidak usah dievakuasi. Bagaimana bisa, tidak ada apa-apa di pulau itu! Bagaimana kami bisa hidup?" ujar Winanto, dengan nada kesal.


Rasa kesalnya semakin bertambah karena pada saat itu anaknya demam dan butuh obat. Sementara bantuan belum datang. Jangankan bantuan, beberapa kapal yang sudah datang pun tidak mau mengangkut Winanto dan keluarganya.

"Ada dua kapal yang evakuasi korban luka yang dikoordinir orang asing, bayi saya enggak boleh naik kapal, enggak tahu alasannya apa, mereka bilang sih khusus yang luka saja," ujarnya.

Walau mendapat penolakan, Winanto mencoba tetap bersabar. Ia terus menunggu sampai ia dan keluarganya benar-benar keluar dari Gili. Sambil menunggu, Winanto terus merasakan guncangan gempa susulan.

Sekitar pukul 10.00 WITA Winanto baru kebagian kapal. Kapal itu sengaja disewa pemilik penginapannya untuk mengangkut tamu-tamunya. Tidak sembarang orang bisa masuk meskipun mereka berada di pelabuhan lebih dulu.

Terperangkap Gempa di Gili Trawangan Suasana di Gili Trawangan, Lombok. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)


Meski perih melihat 'seleksi alam' yang terjadi di depan wajahnya sendiri, Winanto bersyukur bisa ikut menumpang kapal. Satu hal yang ada di pikirannya hanyalah keselamatan istri dan anaknya.

"Saya enggak tahu hidup saya harus bagaimana tanpa istri dan anak," katanya.

Perjuangan Belum Usai

Winanto beserta istri dan anaknya akhirnya tiba di Pelabuhan Bangsal, titik penyeberangan dari Pulau Lombok menuju Gili Meno, Gili Trawangan, dan Gili Air atau yang dikenal dengan kawasan Gili Matra.

Saat Winanto tiba di Pelabuhan Bangsal, yang biasanya dipadati keriaan para wisatawan, suasana porak poranda. Banyak bangunan ambruk dan rata dengan tanah, termasuk masjid.


Karena anaknya demam, Winanto pun tergesa mencari kendaraan yang bisa mengantarnya ke bandara. Setelah berhasil keluar dari Gili Trawangan, Winanto ingin keluar dari Lombok. Tak lagi peduli tujuan utama mereka datang ke pulau eksotis itu.

Di Pelabuhan Bangsal, Winanto hanya melihat sebuah truk polisi yang mengevakuasi wisatawan. Namun ia tak tahu ke mana tujuan truk itu.

Dari kejauhan ia melihat mobil patroli polisi melintas. Ia berinisiatif meminta bantuan polisi.

"Mobil polisi saya berhentikan, enggak ada yang mau berhenti. Hampir 2 jam saya mencari mobil tidak dapat," katanya.

Beberapa kali ia ditawari naik mobil travel oleh beberapa orang. Mendengar harga yang ditawarkan Winanto terkaget-kaget.

Satu juta untuk satu orang penumpang ke bandara. Itu artinya ia harus membayar Rp3 juta agar keluarganya bisa segera pergi.

Padahal di hari-hari biasa harga transportasi di Lombok tidak semahal itu. Penyewaan satu unit mobil untuk satu hari saja hanya Rp300 ribu.

Meski harganya sangat mahal, ada saja orang yang bersedia. Kebanyakan wisatawan asing.

Mengingat tak punya uang sebanyak itu, Winanto mencari alternatif lain. Sampai akhirnya ada mobil yang disewa wisatawan asal Yogyakarta yang mau memberikan tumpangan untuk Winanto dan keluarga ke bandara.

Ia hanya diminta membayar Rp250 ribu untuk tiga orang oleh sang penyewa mobil. Syaratnya, Winanto harus menunggu lagi karena suami penyewa mobil masih terjebak di Gili Trawangan.

Ketika yang ditunggu tiba, mereka langsung tancap gas menuju Bandara Internasional Lombok Praya.

Di sepanjang jalan menuju bandara, Winanto menyaksikan dahsyatnya dampak gempa. Sepanjang Senggigi - Ampenan dipenuhi bangunan roboh.

Terperangkap Gempa di Gili Trawangan Lombok pasca gempa (Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Sesampainya di Bandara Internasional Lombok Praya, ia kaget melihat lautan manusia. Bandara dipenuhi orang. Tujuannya sama, sama-sama ingin keluar dari Lombok.

"Kondisi bandara berantakan, banyak turis asing menginap, toilet antre panjang, tempat makan antre panjang," ujar Winanto.

Melihat suasana bandara yang begitu kacau, ia memutuskan untuk menginap di penginapan terdekat. Winanto memesan penginapan lewat salah satu aplikasi perjalanan. Setelah dapat yang diinginkan, ia langsung membayar lewat ATM dan pergi ke penginapan menggunakan taksi.

"Sampai penginapan mereka bilang kamarnya penuh. Saya komplain, responnya lambat. Anak saya kasihan dari pagi belum makan, istri saya juga belum makan dan badannya sudah drop," kataya.

Akhirnya Winanto dan keluarga ditampung di rumah warga oleh pihak penginapan. Setelah memastikan mendapat tempat untuk beristirahat, melepas sejenak kelelahan dan ketegangan pascagempa, Winanto langsung merancanakan perjalanan pulangnya.

Jadwal pulang yang seharusnya Rabu (8/8) terpaksa harus ia percepat ke Senin (6/8). Walaupun sempat kaget karena harga tiket melambung, tapi dia harus pulang ke Jakarta.

"Saya seharusnya pulang hari Rabu Lombok-Jakarta, harganya Rp1,7 juta, terus saya reschedule Lombok-Bandung jadi Rp3,4 juta," kata Winanto.

Ia tidak memikirkan berapa besar uang yang dikeluarkan, dalam benaknya yang terpenting adalah istri dan anaknya bisa segera keluar dari lokasi bencana. (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER