Jakarta, CNN Indonesia -- Wajah Ir H
Djuanda Kartawidjaja, yang punya peran besar menjaga kedaulatan maritim Indonesia di awal masa kemerdekaan, diabadikan dalam uang pecahan Rp50 ribu sejak 16 Desember 2016.
Lalu siapakah dia? Buku
Tokoh-tokoh Fenomenal Paling Mempengaruhi Wajah Indonesia mencatat bahwa Djuanda memulai kariernya justru sebagai guru, bukan arsitek.
Pria yang lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911, itu memang menempuh pendidikan di jurusan teknik sipil
Technische Hooge School atau sekarang dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ia lebih memilih mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta pada 1937. Padahal, ia ditawari menjadi dosen di almamaternya dengan upah yang lebih tinggi.
Titik awal kiprahnya di pergerakan nasional dimulai sesaat setelah kemerdekaan. Djuanda bersama barisan pemuda mengambil alih Jawatan Kereta Api dari Jepang pada 28 September 1945.
Pemerintah Indonesia sempat mengangkatnya jadi Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura. Kinerja baik membuat Djuanda diangkat menjadi Menteri Perhubungan.
Dia sempat ditangkap Belanda pada Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948.
 Petugas menujukkan gambar Djuanda Kartawidjaja dalam uang pecahan Rp50 ribu, di Blok M Square, Jakarta, 2016. (CNNI ndonesia/Safir Makki) |
"Dalam Perundingan KMB [Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 1949], dia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui kedaulatan Pemerintahan RI," tulis Iwan Setiawan, di buku tersebut.
Setelah momen itu, Djuanda beberapa kali diangkat menjadi menteri. Buku
125 Pahlawan dan Pejuang Nusantara mencatat bahwa ia pernah menjabat menteri sebanyak 17 kali.
Beberapa posisi yang pernah dijabat Djuanda adalah Menteri Keuangan pada Kabinet Kerja I dan II, Menteri Pekerjaan Umum pada Kabinet Hatta I, Menteri Perdagangan pada Kabinet RIS, dan Menteri Perhubungan pada Kabinet Syahrir III.
Puncak karier Djuanda terjadi saat ia menjabat Perdana Menteri pada 1957-1959. Saat itu, Indonesia masih mengadopsi sistem parlementer. Sukarno saat itu menjabat Presiden dengan status kepala negara.
Teritori MaritimPada 1957, kedaulatan Indonesia dihadang oleh aturan
Territiriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie (Ordonasi Tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Martitim) 1939.
Aturan itu hanya mengakui batas laut teritorial hanya 3 mil dari garis pantai terendah. Djuanda tidak setuju dengan hal itu karena Negara Kesatuan Republik Indonesia bakal terpisah-pisah oleh laut internasional.
Dia pun mengeluarkan Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Dalam deklarasi itu ia menyatakan kepada masyarakat internasional bahwa segala perairan yang menghubungkan pulau-pulau Indonesia masuk dalam teritori Negara Republik Indonesia.
 Pulau Rondo, wilayah terluar ujung barat Indonesia, Aceh, Kamis (21/5). Berkat Deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia tak terpecah-pecah antarpulau dan teritorinya ditentukan dari pulau terluar. ( Antara/Ampelsa) |
"Deklarasi itu juga menyatakan bahwa penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang," seperti dikutip dari buku
Tokoh-tokoh Fenomenal Paling Mempengaruhi Wajah Indonesia.Deklarasi itu ditentang oleh Amerika Serikat dan Australia. Namun karena kegigihan Djuanda, deklarasi tersebut bertahan dan disahkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of Sea).
Berkat jasanya, Indonesia memiliki hamparan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi. Nusantara terbentang sepanjang 81 ribu kilometer garis pantai dengan 17 ribu lebih pulai di dalamnya.
Kini Djuanda dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia wafat pada 7 November 1963. Berkat jasanya, ia diberi gelar pahlawan pada 29 November 1963.
(arh/asa)