Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
"Siapapun presidennya gue tetep gini-gini
aje. Enggak berubah, tetep jadi sopir bajaj."
Begitu sepotong kalimat yang keluar dari mulut salah satu sopir bajaj di pangkalan, kawasan Salemba Raya, Jakarta Pusat pekan lalu. Dia bersama tiga rekan seprofesi asik berdebat soal panasnya suhu politik, terutama setelah larangan deklarasi
gerakan #2019GantiPresiden di sejumlah daerah.
Saya kira ketiganya macam tak peduli dengan perpolitikan Indonesia. Apalagi, demokrasi kita memang belum matang-karena sebagian elite partai politik tak bisa menerima perbedaan.
Namun banyak di antara warga yang mudah tersulut emosinya. Sumbu pendek. Tak usah di dunia perpolitikan, antarsuporter sepakbola saja mereka mudah bentrok, tak terima kekalahan, apalagi ejekan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, elite-elite parpol yang harusnya memberikan pendidikan politik kerap kali terlibat perang urat-saraf. Dan sekali lagi, mereka paham sekali memanfaatkan situasi di masyarakat untuk dipolitisir, terutama menjelang Pilpres 2019.
Saya kira perang kata-kata di antara elite parpol makin memanaskan situasi di lapangan. Massa pendukung, terutama yang fanatik, tentu akan membela habis-habisan calon yang mereka dukung.
Penolakan Neno Warisman di Pekanbaru dan Ahmad Dhani di Surabaya contohnya. Benarkah masyarakat setempat secara keseluruhan menolak? Coba saja cek masyarakat yang apatis politik turut menolak atau tidak. Saya sendiri tidak yakin.
Kejadian di dua kota itu menunjukkan bahwa massa pendukung masing-masing saling menyatakan mereka yang paling benar dan menyalahkan sesalah mungkin mereka yang berseberangan.
Lihat saja di Surabaya, sempat terjadi saling debat kusir hingga lempar-melempar. Situasi itu cermin bahwa mereka benar-benar belum atau tak mendapat pendidikan politik yang baik dan benar.
Gesekan antara massa
#2019GantiPresiden dan yang anti menunjukkan mereka telah 'terajarkan' oleh kelakuan para elite politik yang doyan perang urat saraf.
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat akan mudah mengikuti gaya 'berperang' para elite politik. Bibit kebencian di antara kedua kubu, bisa jadi kian tertanam.
Situasi seperti itu tak akan berubah jika para elite politik tak mau berubah. Sulit memang, namun para elite seharusnya bisa berpolitik secara santun, minimal tak 'menyiramkan bensin' guna mencegah pecahnya konflik tambah lebar.
Saya agak khawatir konflik bakal melebar karena situasi yang bakal memanas.
Sisi lain, perlu ada ketegasan yang setegas-tegasnya untuk situasi seperti ini. Dalam hal ini mereka yang akan bertarung di Pilpres, Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
 Massa yang mengadang Neno Warisman di Pekanbaru. (Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharrman) |
Ketegasan para bakal calon ini sangat diperlukan guna meredam, mengingat para pendukung fanatik mungkin tak kenal kata damai dalam kamus mereka.
Nah satu momen sejatinya sudah ditunjukkan Jokowi dan Prabowo ketika menghadiri perebutan medali emas Pencak Silat untuk Asian Games 2018.
Saat menghadiri acara di Padepokan Pencak Silat, TMII, Rabu (29/8), para elite kedua kubu, tak terkecuali Jokowi dan Prabowo menunjukkan keakraban. Bahkan Jokowi dan Prabowo dalam satu momen tampak berpelukan bersama Hanifan Yudani Kusumah usai pengalungan medali emas.
Sikap keduanya sudah benar, guna meredam suhu panas politik belakangan ini. Mereka harus kembali bersikap seperti itu di pelbagai kesempatan lain.
Pertama, untuk meredam situasi di lapangan. Kedua, guna mengajarkan kepada masyarakat bagaimana cara berpolitik yang baik dan santun. Baik Jokowi maupun Prabowo harus memberi pernyataan yang bisa menenangkan massa pendukung dan meredam situasi panas.
Saya menilai massa pendukung yang fanatik hampir bisa dipastikan akan menurut apa yang dikatakan keduanya. Jangan sampai, momen berpelukan di arena Pencak Silat hanya sebatas gimik.
Saya kembali teringat ucapan para tukang bajaj di kawasan Salemba, beberapa waktu lalu. Siapa pun presidennya tak ada jaminan kehidupan mereka-perwakilan kelas bawah-bakal berubah.
Jadi, jangan sampai bara api para elite politik membakar habis seluruh kayu dan menjadikannya abu.
(asa)