Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono mengatakan nilai tukar rupiah yang kembali merosot adalah bukti pemerintahan Presiden Joko Widodo menerapkan paket kebijakan ekonomi yang salah.
Menurutnya, pelemahan Rupiah terhadap dolar AS adalah akibat dari paket kebijakan yang salah tersebut. Nilai Rupiah telah mencapai Rp14.920 per dolar AS pada Selasa (4/9) siang.
"Paket kebijakan yang selama ini dilakukan terbukti salah dan kita semua menjadi korban nafsu keinginan dua periodenya presiden," ucap Ferry saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (4/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ferry menduga para investor mulai menarik uang dari pasar modal. Dia mengatakan hal tersebut usai mengikuti dinamika di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini yang terus menurun.
Selain itu, Ferry juga menilai akan banyak masyarakat yang membeli dolar dengan motif spekulatif.
"Ini adalah dampak psikologis," ucap Ferry.
Ferry lalu memprediksi pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam waktu dekat. Menurutnya, pemerintah akan melakukan hal itu untuk memperoleh pemasukan yang besar. Kemudian, hasil pemasukan tersebut digunakan untuk mendapatkan sumber penting yang akan digunakan untuk mempertahankan nilai Rupiah.
"Namun kami berpendapat bahwa langkah langkah tersebut sangat terlambat akibat otaknya pikirannya cuma pencitraan semata," ucap Ferry.
Rupiah bergerak ke level Rp14.920 per dolar AS atau melemah 105 poin. Penurunan itu juga sama dengan 0,70 persen dari nilai tukar kemarin sore, Senin (4/9). Berdasarkan perhitungan kalender, Rupiah melemah hingga 10,23 persen atau 1.385 poin sejak 1 Januari 2018 yang kala itu masih berada di kisaran Rp13.535 per dolar AS.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai pergerakan rupiah saat ini masih lebih baik dibandingkan nilai tukar mata uang negara berkembang lain, seperti India yang melebihi 10 persen, Brasil hingga level 20 persen, bahkan Turki, dan Argentina mencapai lebih dari 40 persen.
Namun, ia mengakui kurs rupiah memang terlihat lebih lesu dibandingkan mata uang negara-negara di Asia Tenggara.
"Sentimennya negatif karena faktor eksternal, ekonomi global dan nilai tukar nilai tukar mata uang itu pengaruh ke nilai tukar emerging market (negara berkembang), termasuk Indonesia," tutur Josua saat dihubungi
CNNIndonesia.com.
(ugo/gil)