Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo melihat sebuah ironi dengan diperbolehkanya eks narapidana korupsi kembali menjadi calon legislatif dalam
Pileg 2019.Hal itu tak sesuai dengan moralitas yang digambarkan anggota DPR dalam menyusun undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Ya memang itu ironi kita. Yang membuat syarat-syarat itu ya orang DPR juga. Yang membuat UU ASN itu kan pemerintah. Yang membuat UU KPK itu DPR. Semua UU ya dibuat oleh DPR dan pemerintah tetapi begitu dibalik ke merekanya ya mereka nggak mengakui itu sebagai syarat," jawab Topan saat ditemui di Hotel Sari Pan Pasifik pada Senin (24/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Topan menilai ada masalah dengan hukum di Indonesia. Masalahnya bukanlah pada teks undang undang melainkan moralitas. Bukan berarti jika tak ada dalam undang undang, seseorang boleh maju sebagai caleg seperti yang sekarang terjadi.
Untuk menyikapi diskriminasi ini, pemilihlah yang terpaksa harus kritis. Menurut Topan, mereka perlu menyisir sendiri siapa caleg eks koruptor dan mana yang perlu mereka pilih.
Pemilih juga perlu mendistribusikan informasi itu kepada pemilih lainnya sebab masih tak ada kejelasan bagaimana seorang eks napi korupsi dianggap telah menyatakan statusnya itu dalam undang undang. Toh, tak ada tindak pidana bagi pemilih yang memberikan pengumuman itu secara luas.
"Mau nggak mau pemilih yg harus pintar walaupun seakan akan pemilih jadi cuci tangan. Jadi parpolnya yang main kotor pemilihnya suruh bersih bersih kan nggak fair sebetulnya," kata dia.
Sementara itu, ICW juga sempat memberikan masukan pada KPU agar eks koruptor diberi tanda di kertas suara agar pemilih mendapatkan informasi yang tepat. Jika tidak, TPS bisa memberikan informasi berupa poster eks napi. Lagi lagi agar pemilih tak salah pilih.
(kst/age)