Jakarta, CNN Indonesia -- Suryani (50) sejak lama menetap di Gang Arus, Cawang, Jakarta Timur. Kediamannya yang cuma berjarak sekitar 50 meter dari bibir Sungai Ciliwung membuatnya akrab dengan banjir.
Banjir setinggi dua hingga enam meter pernah mampir ke rumahnya. Genangan air pernah menyentuh langit-langit warung tempatnya berdagang. Namun hingga kini Suryani masih menetap di rumahnya.
"Kalau di sini tidak punya (lantai) atas, kita sengsara. Masa banjir dikit kita mau ngungsi," kata Suryani kepada
CNNIndonesia.com, di kediamannya, Jakarta, Rabu (26/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti pada Februari 2018 lalu saat lingkungan tempat tinggalnya terendam banjir setinggi hampir tiga meter, Suryani lebih memilih tetap tinggal di loteng rumahnya. Dia malas mengungsi lantaran khawatir kerap ada tangan-tangan jahil yang memanfaatkan situasi.
Sudah jadi hal biasa, kata dia, ada barang-barang yang hilang saat banjir karena diambil maling.
"Di sini
mah suka ada yang jahil. Makanya saya kalau air belum
sampe ngerendem loteng, saya mending tinggal di rumah
aja," ujarnya.
Lantaran menganggap banjir sudah lazim, Suryani tak punya persiapan khusus menghadapi musim hujan diperkirakan sebentar lagi tiba. Tak ada upaya seperti kerja bakti membersihkan lingkungan atau membuat tanggul swadaya dari 180 kepala keluarga yang tinggal di sana.
Suryani juga menganggap pemerintah pusat dan Provinsi DKI Jakarta belum melakukan upaya tertentu mencegah banjir di daerahnya. Hanya sempat beredar kabar kalau Pemprov hendak mengeruk Sungai Ciliwung. Namun, sampai detik ini tak kunjung terjadi.
"Waktu itu rencananya mau ada pengerukan itu kali ya, tapi sampai sekarang belum juga itu," ujarnya.
Muhammad Tohir (47), Warga Gang Arus, pun mengaku tidak pernah melihat upaya serius dari pemerintah mencegah banjir di daerahnya. Hanya ada proyek normalisasi Ciliwung yang belum juga menyentuh kampungnya.
Daerah Cawang masuk dalam ruas ketiga dari empat ruas normalisasi sungai Ciliwung. Sampai saat ini proyek tersebut belum terealisasi sepenuhnya.
"Kalau menanggulangi rencananya kan mau dibikin dam di situ pinggir kali Ciliwung, tapi baru wacana belum ada di sini, baru di Bukit Duri, Cawang doang yang belum," katanya.
Tohir juga bercerita saat banjir datang, bantuan yang diterimanya kerap tak sebanding. Ada pihak-pihak yang sengaja memotong jatah bantuan bagi warga korban banjir.
Misalnya, saat ada dermawan atau pihak yang memberi bantuan beras satu karung, warga hanya menerima setengahnya. Bantuan tersebut biasanya dipotong jika diberikan melalui posko.
Atas dasar itu, ia berharap jika daerah rumahnya terendam banjir lagi, para pemberi bantuan bisa memberikannya kepada warga secara langsung tanpa perantara.
"Enggak tahu ada oknum yang ambil, tapi sebaiknya kalau mau kasih bantuan langsung saja, mau mie satu bungkus, atau biskuit satu bungkus kami terima dengan ikhlas," ujarnya.
Pemerintah, kata Tohir, juga selalu memberikan bantuan saat banjir datang seperti membentuk posko, tenda-tenda, hingga dapur umun. Namun, Tohir memiliki keluhannya tersendiri soal dapur umum.
"Itu di dapur umum, ibaratnya lebih kenyang mereka yang enggak kena banjir daripada kita yang kena banjir," ujarnya.
Warga di RT 13 /RW 4 Kebon Pala, Jantinegara Barat membersihkan sisa-sisa lumpur akibat banjir pada 25 Juni lalu. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Proyek Tanggul Yang TersisaSelain Gang Arus, Wilayah Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan juga menjadi daerah langganan banjir. Bedanya, banjir di Jati Padang tidak terlalu tinggi karena tidak dilalui oleh sungai Ciliwung.
Hanya ada kali selebar tiga meter yang kerap menjadi sumber banjir di sana. Bahkan saat Desember tahun lalu luapan kali itu tak mampu dibendung oleh tanggul sehingga menyebabkan air meluber ke jalan dan rumah-rumah warga.
Cepi Sutarji (64) warga RT03/RW06, Kelurahan Jati Padang masih ingat betul saat tanggul yang berjarak hanya 20 meter dari rumahnya itu jebol.
Arus air saat itu begitu kencang, menghanyutkan barang-barang milik warga di sana. Beruntung meski berada di pinggir kali, rumahnya tidak begitu terdampak jebolnya tanggul.
"Itu air keluar dari jendela rumah yang di depan saya, wah arusnya kencang sekali," kenang Sutarji.
 Warga di Jatinegara, Jakarta Timur, membersihkan rumah dari sisa-sisa banjir. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Tanggul jebol itu kini sudah diperbaiki oleh Gubernur DKi Jakarta Anies Baswedan. Bahkan warga di sana menamainya dengan tanggul Baswedan.
Kendati tanggul sudah diperbaiki, lanjut Sutarji, ancaman banjir bukan berarti lenyap. Sebab daerah rumahnya memang cenderung rendah dan berdekatan dengan kali.
Penyempitan dan pendangkalan kali menjadi salah satu penyebab banjir di daerahnya. Penyempitan kali, lanjut Sutarji, adalah akibat dari banyaknya warga yang tinggal di pinggirannya.
Bahkan 500 meter dari rumahnya lebar kali hanya sebesar saat meter. Alhasil, saat hujan datang debit air menjadi tertumpuk di lokasi penyempitan.
"Itu di sana (500 meter dari rumahnya) kalinya, bisa dilangkahin sama warga. Jadi karena nyempit arus air jadi ketahan dan banjir," ujarnya.
Sampah, lanjut Sutarji, juga menjadi penyebab utama banjir di daerahnya. Tak jarang dia menemukan sampah terbawa arus kali depan rumahnya. Mulai dari sampah plastik, rumah tangga, hingga furnitur seperti sofa pernah dia jumpai.
"Saya juga pernah
nemu itu orang buang kasur ke sungai. Wajar saja kan kalau arus kali terhambat dan jadinya bikin banjir," ujarnya.
Pengurus RT sudah berulang kali mengakali dan melakukan antisipasi banjir seperti membersihkan sampah dari kali. Namun, aliran sampah dari wilayah lain tak kunjung berhenti.
Warga di sana juga pernah mengusulkan pihak Kelurahan hingga Pemprov DKI untuk membuat sodetan kecil menuju ke arah sungai kecil yang berjarak sekitar 300 meter dari kali Jati Padang agar arus air dapat terbagi. Namun, belum ada tanggapan serius dari aparat terkait.
"Kami sempat usulkan bikin sodetan, dibandingkan
ngelebarin kali kan repot harus menggusur rumah, lebih baik bikin sodetan lebih murah dan enggak ada rumah warga yang perlu digusur," terangnya.
Sementara itu, Syarifah (65) bercerita wilayah rumahnya juga sempat terendam banjir sekitar sepekan lalu. Hal itu, kata dia, karena ada wilayah kali yang belum sepenuhnya didirikan tanggul.
Pantauan
CNNIndonesia.com, seratus meter ke arah timur tanggul Jati Padang memang ada wilayah yang belum dibangun tanggul.
"Itu ada warga di sana yang enggak mau katanya dibikinin tanggul," ujarnya.
Sayangnya,
CNNIndonesia.com tidak dapat menjumpai warga yang disebut Sumarsih menolak pembangunan tanggul.
Di sisi lain, Kusni (38) membenarkan bahwa ada warga yang menolak pembangunan tanggul di sana. Dia merupakan salah satu warga yang tinggal di wilayah yang belum dibangun tanggul itu.
Ia mengaku hanya mengikuti keinginan warga lainnya yang menolak pembangunan tanggul. Namun, dia menginginkan agar wilayahnya dibuatkan tanggul agar rumahnya tidak terkena banjir lagi.
"Itu ada warga yang enggak mau dibikin tanggul terus yang punya tanah gede di sana enggak mau dibikinin tanggul. Kalau kita sih maunya ada tanggul, tapi kalau yang lain pada enggak mau, kita mau sendiri
gimana?," ujarnya.
(ayp/sah)