Jakarta, CNN Indonesia -- Maraknya berita bohong (hoaks) di media sosial telah membuat kepolisian mengadakan berbagai tindakan penegakkan hukum. Di satu sisi, polisi pun diminta untuk tak sembarangan dalam melakukan penegakkan hukum berdasarkan pasal dalam Undang-undang Informasi dan Tranksaksi Elektronik (ITE) atas kasus ini.
"Kepolisian seharusnya tidak secara sembarangan dalam mempergunakan pasal penyebaran berita bohong ini, utamanya kepada penyebar berita bohong yang sebenarnya tidak memiliki niat untuk menimbulkan keonaran dan bahkan dirinya sendiri mempercayai bahwa berita yang disebarkannya adalah benar, hanya karena hal tersebut bukanlah keahliannya," demikian pernyataan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam rilis yang diterima
CNNIndonesia.com.
"Setiap orang memiliki hak untuk menyampaikan pikirannya meskipun hal tersebut bukanlah keahliannya dan hak tersebut dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945," sambung pernyataan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, menyatakan penegakan hukum pidana terhadap berita bohong atau hoaks harus dilakukan selektif dan presisi. Selainitu, proses pemidanaan atas orang-orang yang dianggap menyebarkan berita bohong harus dilakukan secara hati-hati.
"Dalam pengamatan ICJR, banyak kasus - kasus yang sebenarnya tidak layak untuk dipidana. ICJR meminta agar Pemerintah lebih aktif dalam mengelola dan menyampaikan informasi kepada masyarakat," katanya.
ICJR pun menyayangkan respon penegak hukum atas berita hoaks tak terjadi pada kasus menyebarnya berita bohong soal vaksin. Dalam pandangan ICJR justru penyebaran berita bohong terkait vaksin itu lebih berbahaya karena dampaknya pada kesehatan masyarakat.
"Namun respon dari penegak hukum sama sekali berbeda dengan apa yang terjadi pada saat ini," demikian pandangan ICJR.
Dalam pengusutan kasus penyebaran berita bohong yang diduga menyebabkan keonaran, polisi biasa menggunakan pasal-pasal antara lain adalah Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE.
Aktivis Ratna Sarumpaet (tengah) dengan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Dirkrimum Polda Metrojaya, Jakarta, Jumat (5/10). Ratna Sarumpaet Tersangka penyebaran berita bohong atau hoaks tentang penganiayaan dirinya resmi menjadi tahanan Polda Metro Jaya hingga 20 hari ke depan. (ANTARA FOTO/Reno Esnir) |
Dalam pandangannya, ICJR menegaskan pasal-pasal persangkaan terkait penyebaran berita bohong harus dipenuhi sebelum seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana penyebaran berita bohong.
"Pertama, penyiaran berita atau pemberitahuan bohong tersebut harus dengan sengaja atau memiliki niat untuk menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Kedua, orang tersebut harus mengetahui bahwa berita tersebut adalah berita bohong atau orang tersebut setidak-tidaknya harus memiliki persangkaan bahwa berita tersebut adalah berita bohong," demikian pernyataan ICJR.
Pada unsur pertama, ICJR, menyatakan ukuran keonaran yang ditetapkan harus sangat tinggi, sehingga penegak hukum tidak dapat secara serampangan menetapkan seseorang sebagai tersangka bila unsur tersebut tidak terpenuhi.
Hal lain yang patut diperhatikan polisi, dalam pandangan ICJR, adalah memastikan seorang penyebar mengetahui berit atau kabar yang ia bagi itu adalah hoaks atau tidak. ICJR mencontohkan ketika ada seseorang melansir kabar tak diketahuinya hoaks akibat ada sumber rujukan atau berita yang dapat dipercayai kebenarannya.
"Sebagian besar masyarakat yang melakukan penyebaran berita bohong, tidak mengetahui kebenaran yang ada di balik berita tersebut. Hal itulah yang harus digali secara hati-hati oleh aparat penegak hukum, karena unsur ini yang kemudian berhubungan dengan niat jahat pelaku tindak pidana, apakah memang benar niat tersebut ada di dalam perbuatannya," demikian lanjutan pernyataan ICJR.
 Hoaks pun banyak menyebar setelah terjadinya suatu peristiwa bencana, termasuk bencana gempa dan tsunami yang melanda Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki) |
ICJR menegaskan dalam penangkanan dan penahanan, hingga penetapan tersangka harus memenuhi elemen kriminalitas yakni perbuatan dan niat jahat. Atas dasar itu, ketika seseorang telah menyebarkan berita bohong, namun niat jahatnya tak dapat dibuktikan ia tak bisa disebut telah melakukan tindak pidana.
Pada akhir September lalu, Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat Facebook menjadi media sosial yang tersering digunakan menyebar hoaks. Angka tersebut, kata penasihat Mafindo, didapat dari pengamatan pihaknya soal peredaran hoaks di Indonesia selama tiga bulan.
Lebih dari itu kini hoaks juga sudah mulai menyerang pasangan calon presiden untuk pemilihan 2019. Terkait itu, tim kampanye dua pasangan capres-cawapres peserta Pilpres 2019 sepakat menciptakan kontestasi politik yang adil, bermartabat, dan menyenangkan tanpa hoaks selama masa kampanye Pilpres 2019.
Selain itu, kabar hoaks pun menjadi 'konsumsi' sehari-hari warga usai bencana gempa dan tsunami yang melanda kawasan Palu, Donggala, dan sekitarnya di Sulawesi Tengah.
(kid)