Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus perekaman konten kesusilaan dengan terdakwa mantan
guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB),
Baiq Nuril Maknun (40) memicu aksi solidaritas warga.
Usai Mahkamah Agung menghukum Baiq Nuril enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta di tingkat kasasi, aksi solidaritas bermunculan, terutama di dunia maya. Mulai dari petisi online hingga penggalangan dana untuk membayar
denda Rp500 juta yang dibebankan kepada Baiq Nuril.
Di situs penggalangan dana
kitabisa.com, ada dua kampanye galang dana terkait kasus Baiq Nuril. Satu kampanye berjudul 'Bantu Ibu Baiq Nuril Maknun 500 Juta' diinisiasi oleh warga Yogyakarta bernama Budi Hermanto dan satu lagi berjudul 'Bantu Ibu Nuril Membayar Denda Rp 500 Juta' dibuat oleh Anindya Joediono . Kedua kampanye dibuat pada 14 November 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga Kamis (15/11) pukul 06.37 WIB, Budi Hermanto berhasil mengumpulkan dana Rp1.058.576, sedangkan dalam kampanye Anindya, terkumpul Rp75.709.371.
"Bagi saya, Baiq Nuril adalah korban UU ITE sehingga ia terhukum karena disangka melanggar. Ini tidak adil, Baiq Nuril harus dibantu untuk mendapatkan keadilan," tulis Budi Hermanto seperti dikutip dari situs galang dana Kitabisa.com.
Senada dengan Budi, Anindya mengajak warganet untuk berjuang mencari keadilan untuk Baiq Nuril.
"Saya tak ingin diam melihat Ibu Nuril dipenjara. Saya ingin mengajak Anda untuk berdiri bersama Ibu Nuril dengan mengangkat kasusnya dalam diskusi-diskusi, seminar atau panggung budaya di tempat kalian tinggal. Mari, bantu suarakan Bu Nuril yang berjuang mencari keadilan," tulis Anindya.
Anindya yang juga menjabat sebagai sekretaris Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) mengatakan kasus Baiq Nuril merupakan cermin institusi hukum yang gagal melindungi perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual.
"Kami yang seharusnya dilindungi, malah dijadikan pelaku kriminalitas," kata Anindya.
Tak hanya penggalangan dana, warganet juga membuat petisi online untuk mendukung perjuangan Baiq Nuril. Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto memulai petisi berjudul 'Bebaskan Ibu Nuril dari Jerat UU ITE #SaveIbuNuril' di situs
change.org.
Petisi itu, hingga Kamis (15/11) telah ditandatangani 32.941 warganet. Petisi ditujukan kepada Pengadilan Negeri Mataram dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
"Tuntutan petisi ini sederhana: Bebaskan Ibu Nuril dan hukum pelaku pelecehan seksual tersebut seberat-beratnya," tulis Damar dalam keterangan dalam petisi yang dibuatnya.
Dalam situs c
hange.org, kasus Baiq Nuril ini terjadi sekitar tahun 2016 dan masuk di persidangan tahun 2017. Bermula saat Baiq kerap dilecehkan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram saat itu, Muslim.
Muslim menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya melalui sambungan telepon.
Tidak nyaman dengan hal tersebut sekaligus untuk membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat hubungan gelap seperti yang dibicarakan orang sekitarnya, Baiq merekam pembicaraan dengan Muslim. Bukan atas kehendaknya, rekaman tersebut menyebar.
Tersebarnya rekaman ini kemudian dibawa Muslim ke ranah hukum. Di tingkat PN Mataram, kasus itu mental, Baiq Nuril dinyatakan tak bersalah.
Jaksa kemudian mengajukan banding hingga tingkat kasasi. Di ranah ini, Baiq Nuril dinyatakan bersalah. Baiq Nuril pernah ditahan sejak 27 Maret 2017-30 Mei 2017 dalam kasus ini. Saat ini, Baiq Nuril berstatus tahanan kota.
Kata Damar, Baiq Nuril sesungguhnya adalah korban dari atasannya yang berperilaku seperti predator, dan sistem hukum yang tidak berpihak kepada yang lemah.
"Sejak ditahan 27 Maret 2017, ibu Nuril mengalami tekanan psikologis dan keluarganya," kata Damar.
Suami dan tiga anak Baiq Nuril, kata Damar, kini dilanda kesulitan keuangan karena suaminya yang tadinya bisa bekerja di Pulau Gili Trawangan, terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya untuk mengurus ketiga anaknya yang masih kecil di Mataram.
(ugo/fir)