Jakarta, CNN Indonesia -- Pihak Istana angkat suara soal saran pengajuan grasi oleh Presiden
Joko Widodo pada mantan Guru Honorer SMAN 7 Mataram
Baiq Nuril mengenai perkara pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menjeratnya. Saran pengajuan
grasi tersebut dikritik karena tak bisa diajukan oleh terpidana dengan vonis di bawah dua tahun.
Sementara Baiq Nuril divonis enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan.
Juru Bicara Presiden Johan Budi mengatakan saran pengajuan grasi oleh Jokowi hanya sebuah gambaran proses hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemarin itu Presiden ingin memberikan gambaran. Ada domain Pak Presiden, ada domain yudikatif. Kan sekarang ada upaya hukum bisa dilakukan, Peninjauan Kembali. Setelah itu baru domain Presiden," kata Johan di Kompleks Istana Bogor, Rabu (21/11).
Beberapa hari lalu, Jokowi mengusulkan Nuril mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung terkait vonis enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta guna memperoleh keadilan. Apabila ditolak, Nuril disarankan mengajukan grasi kepadanya.
Usulan ini kemudian dikritik banyak pihak, salah satunya ialah Direktur Eksekutif ICJR Anggara menegaskan hal itu tak sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Pasal 2 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi mengatur grasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan pemidanaan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, penjara paling rendah dua tahun.
 Baiq Nuril. (CNN Indonesia/Fachri Fachrudin) |
Johan menyatakan grasi bukan satu-satunya opsi yang di bawah Presiden. Beberapa opsi lainnya memang amnesti dan abolisi. Namun, seluruh opsi memiliki syarat dan ketentuan berlaku.
Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 mengatur sebelum memberi amnesti dan abolisi presiden harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
"Itu tidak melekat Pak Presiden langsung bisa memberikan amnesti. Ada tahapannya. Sekarang Bu Nuril sedang melakukan upaya hukum luar biasa yang dimungkinkan (PK)," tutur mantan Jubir KPK ini.
Ia juga menyambut baik keputusan Kejaksaan Agung menunda eksekusi Nuril yang seharusnya dijadwalkan hari ini (21/11). Penundaan karena Kejaksaan melihat aspirasi yang berkembang di masyarakat terhadap persepsi keadilan.
"Kejaksaan saya kira harus concern juga terhadap apa yang dibicarakan. Itu sebagai respons dari Kejaksaan terhadap yang ramai dibicarakan," kata Johan Budi.
(chri/sur)