Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut Presiden
Joko Widodo tidak komprehensif memahami kasus pidana yang menimpa
Baiq Nuril Maknun.
"Jangan bekerja di ujung, tapi lihat masalah Baiq secara komprehensif," ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (21/11).
Fahri menuturkan Jokowi harus dapat membaca kasus Baiq Nurul secara luas sehingga dapat menentukan langkah terhadap kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selaku presiden menurutnya Jokowi memiliki kewenangan yang tak terbatas, salah satunya kewenangan yudikatif. Dengan kuasa itu, Jokowi dapat memberi pengampunan atau membatalkan suatu keputusan.
"Presiden harus membaca peristiwa ini peristiwa apa begitu, secara luas," ujarnya.
Di sisi lain, politikus PKS ini menilai kasus seperti Baiq Nuril bukan hanya satu. Ia menyebut banyak kasus serupa namun tidak diketahui karena minimnya lembaga pengaduan masyarakat.
Ia menyebut lembaga pengaduan masyarakat yang hanya ada di Jakarta menyulitkan masyarakat di deerah untuk mengadu.
"Baiq Baiq di seluruh Indonesia ini banyak, jangan Baiq viral saja yang diakomodasi," ujar Fahri.
Terkait masalah itu, Fahri menyarankan Jokowi untuk menggabungkan seluruh lembaga yang bersifat menerima aduan masyarakat, seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, LPSK, Ombudsman, hingga KPK.
Sistem satu atap lembaga pengaduan seperti di Korea Selatan itu, kata dia, membuat kasus seperti Baiq Nuril diketahui.
"ini kan kebetulan karena dekat dan orang viral-viral aja. Yang tidak viral kan banyak, padahal lebih dizalimi," ujarnya.
Beberapa hari lalu, Jokowi mengusulkan Nuril mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung terkait vonis enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta guna memperoleh keadilan. Apabila ditolak, Nuril disarankan mengajukan grasi kepadanya.
Usulan ini kemudian dikritik banyak pihak, salah satunya ialah Direktur Eksekutif ICJR Anggara menegaskan hal itu tak sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Pasal 2 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi mengatur grasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan pemidanaan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, penjara paling rendah dua tahun.
(jps/sur)