Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun 2018 menyisakan duka bagi sebagian masyarakat Indonesia. Ribuan
bencana alam menerjang sebagian wilayah Indonesia. Ribuan orang meninggal, jutaan orang mengungsi, dan ribuan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal.
Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei mengatakan hingga 14 Desember 2018, telah terjadi 2.426 kejadian bencana.
"Banjir, longsor, dan puting beliung masih tetap mendominasi bencana," kata Wilem, Rabu (19/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data BNPB menunjukkan bencana paling banyak terjadi di Indonesia selama 2018 adalah puting beliung yang mencapai 750. Disusul Banjir 627 kejadian, tanah longsor 440 kejadian, gempa bumi 20 kejadian, tsunami satu kejadian. Ini belum termasuk bencana tsunami yang melanda Banten dan Lampung, Sabtu (22/12) lalu.
Selain itu kebakaran hutan dan lahan 370 kejadian, kekeringan 129 kejadian, letusan gunung api 55 kejadian, dan gelombang pasang 34 kejadian.
Dampak yang ditimbulkan bencana sangat besar. Bencana alam hingga 14 Desember 2018 telah menyebabkan 4.231 orang meninggal dunia dan hilang; 6.948 orang terluka; 9,9 juta jiwa mengungsi dan terdampak bencana. Bencana alam juga mengakibatkan 374.023 rumah rusak. Sementara untuk tsunami di Selat Sunda lebih dari 200 orang meninggal.
Terakhir, tsunami yang disebabkan longsoran tanah akibat erupsi Gunung Anak Krakatau terjadi pada Sabtu (22/12) lalu di Selat Sunda. Peristiwa itu mengakibatkan ratusan jiwa tewas dan ribuan luka-luka, baik di Banten hingga Lampung Selatan. Kini, ribuan orang mengungsi dan tinggal di pengungsian sementara.
Sementara Kepala Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan ada beberapa bencana yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian cukup besar, yaitu banjir bandang di Lampung Tengah pada 26 Februari yang menyebabkan tujuh orang meninggal dunia.
Bencana longsor di Brebes, Jawa Tengah, pada 22 Februari yang menyebabkan 11 orang meninggal dunia dan 7 orang hilang.
Banjir bandang di Mandailing Natal pada 12 Oktober 2018 menyebabkan 17 orang meninggal dunia dan dua orang hilang.
Bencana terbesar yang terjadi tahun 2018,menurutSutopo, gempa bumi beruntun di Lombok danSumbawa serta Palu Sulawesi Tengah.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
Gempa Lombok terjadi pada 29 Juli, 5 Agustus, dan 19 Agustus yang menyebabkan 564 orang meninggal dunia dan 445.343 orang mengungsi. Sedangkan Gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 menyebabkan 2.081 orang meninggal dunia, 1.309 orang hilang dan 206.219.
Gempa Lombok, pertama kali mengguncang pada 29 Juli sekitar pukul 05.47 WIB dengan kekuatan 6,4 SR. Gempa tersebut terjadi akibat aktivitas sesar naik Flores dan dipicu deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik.
Berselang beberapa hari, gempa bumi kembali mengguncang Lombok. Tepatnya pada 5 Agutus dengan kekuatan gempa mencapai 7 SR.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sempat merevisi kekuatan gempa yang terjadi. Awalnya BMKG menyebut kekuatan gempa sebesar 6,8 SR. Namun tak berselang lama, kekuatan gempa diralat menjadi sebesar 7 SR.
Selain meralat kekuatan gempa, BMKG juga mengeluarkan peringatan dini tsunami akibat gempa yang terjadi. BMKG mengklaim tsunami sempat terjadi, namun di level terendah atau hanya sekitar 10-13 cm. Namun, BMKG kemudian mencabut peringatan dini tsunami tersebut.
BNPB mencatat kerugian akibat gempa Lombok ditaksir mencapai Rp12,15 triliun mencakup kerusakan bangunan sebesar Rp10,15 triliun dan kerugian ekonomi sebesar Rp2 triliun.
Pemprov NTB menetapkan status keadaan tanggap darurat di Pulau Lombok berdasarkan Keputusan Gubernur No. 360-611 tahun 2018 tanggal 30 Juli 2018 dan diperpanjang dengan Keputusan Gubernur No. 360-642 tahun 2018 tertanggal 5 Agustus.
Pemerintah kemudian menghentikan masa tanggap darurat gempa Lombok pada 25 Agustus, setelah sebelumnya juga sempat diperpanjang. Berakhirnya masa tanggap darurat itu kemudian dilanjutkan dengan masa transisi darurat ke pemulihan.
Untuk mengatasi dampak dari gempa tersebut, Pemprov NTB sempat mengirim surat kepada gubernur seluruh Indonesia yang berisi permohonan bantuan keuangan.
Surat bernomor 900/1206/BPKAD/2018 bersifat 'segera' yang ditandatangani Wakil Gubernur NTB Muhammad Amin di Mataram pada 6 Agustus lalu.
Dalam surat itu juga disebutkan bahwa gempa yang terjadi pada 29 Juli dan 5 Agustus di NTB berdampak luas di empat kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Barat, dan Kota Mataram.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 23 Agustus mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2018 yang menginstruksikan sejumlah menteri untuk mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa di Lombok.
Total ada 19 menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah yang mengemban tugas percepatan pemulihan NTB pascagempa. Masing-masing mendapat tugas percepatan sesuai bidang mereka di bawah naungan kementerian koordinator.
Untuk mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa Lombok, TNI kemudian juga membentuk Komando Tugas Gabungan Terpadu (kogasgabpad). 3.000 personel TNI yang bertugas dimulai sejak 25 Agustus. Tugas Kogasgabpad itupun resmi berakhir pada 21 November lalu.
Hingga saat ini proses rekonstrunksi pascagempa Lombok masih terus berlangsung, termasuk anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk membantu merenovasi rumah yang rusah akibat gempa.
Sekitar satu bulan berselang, atau tepatnya pada 28 September, gempa bumi kembali melanda wilayah Indonesia kali ini di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah.
Ada sejumlah gempa berkekuatan besar yang terjadi di dua wilayah tersebut. Dari catatan BMKG, gempa terbesar terjadi dengan kekuatan 7,4 SR dengan pusat gempa di jalur sesar Palu-Koro.
Gempa tersebut memicu tsunami yang akhirnya menerjang wilayah Palu dan Donggala dengan tinggi 0,5 sampai tiga meter.
Tsunami tersebut salah satunya menerjang Pantai Talise. Saat itu, di pantai tersebut tengah diadakan Festival Palu Nomoni. Akibatnya, diperkirakan banyak warga Palu yang tengah meramaikan festival tersebut menjadi korban.
Gempa dengan kekuatan besar itu juga mengakibatkan Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Palu mesti ditutup sementara dikarenakan menara Air Traffic Control (ATC) di bandara tersebut roboh. Bahkan, robohnya menara ATC tersebut mengakibatkan satu orang personel AirNav meninggal dunia.
Selain itu, gempa bumi yang mengguncang Palu dan Donggala tersebut juga memunculkan femonema tanah bergerak atau likuifaksi. Fenomena itu terjadi di tiga daerah, yakni Balaroa, Petobo, dan Sigi.
Tak hanya itu, sebanyak 1.090 warga binaan Lembaga Permasyarakatan Palu juga kabur dari tahanan akibat peristiwa gempa dan tsunami tersebut.
Hingga 31 Oktober, setidaknya masih ada 426 warga binaan yang masih belum kembali ke Lapas. Hal itu, akhirnya membuat Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumhan menetapkan 426 warga binaan itu masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO).
Pemerintah tak menetapkan bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala tersebut sebagai bencana nasional. Namun, pemerintah membuka pintu bagi negara lain yang ingin mengirimkan bantuan.
Masa tanggap darurat bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tenggara itu telah berakhir pada 26 Oktober. Setelahnya, ditetapkan status transisi darurat ke pemulihan selama 60 hari, terhitung sejak 17 Oktober hingga 25 Desember.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pun membangun hunian sementara (huntara) sebanyak 1.200 unit bagi para korban gempa dan tsunami.
Lebih dari itu, pemerintah memproyeksikan wilayah Palu dan Donggala akan bisa pulih sepenuhnya setelah bencana gempa dan tsunami dalam kurun waktu dua tahun ke depan.
Tsunami Selat Sunda
Publik dikejutkan dengan bencana tsunami yang melanda kawasan pesisir Banten dan Lampung, terutama yang berada di pantai perairan Selat Sunda. Tanpa didahului gempa besar, tsunami menerjang. Lebih dari 400 orang tewas dan ribuan lainnya terluka.
Ratusan bangunan juga hancur diterjang gelombang tsunami.
Tsunami dipicu longsoran bawah laut karena erupsi Gunung Anak Krakatau. Sejak beberapa pekan terakhir, gunung api di tengah Selat Sunda itu memang tengah aktif memuntahkan material vulkanik. Namun erupsinya relatif tak besar dan statusnya masih waspada.
Tak ada peringatan dini sebelum tsunami melanda. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebelumya hanya mengeluarkan peringatan gelombang tinggi.
Karena itu tak ada peringatan untuk mengungsi ke dataran tinggi atau
shelter tsunami bagi warga.
Karena penyebabnya bukan gempa, BMKG mengeluarkan imbauan untuk warga agar tidak mendekati kawasan pantai di Selat Sunda untuk sementara waktu.