Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum
Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono kembali tampil di hadapan publik sebagai korban atau pihak yang terzalimi pada akhir pekan lalu. Dalam kesempatan tersebut, sosok yang akrab disapa SBY itu mengeluhkan aksi vandalisme berupa
perusakan baliho Demokrat dan perobekan atribut partainya di Pekanbaru, Riau.
SBY menganggap aksi vandalisme itu sangat menyayat hati karena dialami oleh pihak yang tidak menjadi rival calon presiden petahana
Joko Widodo di
Pilpres 2019.
"Menyayat hati, ini ulah pihak-pihak tertentu atau saudara-saudara kami, masyarakat Riau sudah berubah?" kata SBY dalam sebuah video yang diambil Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat Imelda Sari, Sabtu (15/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Insiden vandalisme terhadap atribut Partai Demokrat di Pekanbaru, bukan panggung pertama SBY tampil sebagai pihak yang terzalimi atau korban. Gaya politik itu telah ia lakoni sejak bertarung dengan capres petahana di Pemilu 2004, Megawati Soekarnoputri.
Panggung pertama terjadi setelah suami Megawati mendiang Taufik Kiemas mempertanyakan sikap SBY yang seperti seorang anak kecil ketika tidak pernah lagi diajak rapat kabinet.
Menurut Taufik, SBY yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) seharusnya bertanya ke Megawati terkait alasan tidak lagi mengajaknya rapat setelah mengungkapkan keinginan maju sebagai capres di Pemilu 2004.
Taufik pun mengungkapkan keheranannya dengan sikap SBY karena memilih berbicara di media massa kala itu.
"Mestinya dia (SBY) datang ke Ibu Presiden, tanya, kok enggak diajak (rapat kabinet). Bukannya ngomong di koran, seperti anak kecil. Masa jenderal bintang empat takut ngomong ke presiden," ucap Taufik kala itu.
Kala itu, SBY tidak melakukan perlawanan atas pernyataan Taufik tersebut. Namun, eksploitasi media terhadap posisi terzalimi yang dialami SBY saat itu sukses mengantarkan menantu Sarwo Edhie keluar sebagai pemenang di Pilpres 2004 dengan mengalahkan Megawati.
Gaya politik terzalimi itu pun masih kerap ditampilkan SBY di sejumlah kesempatan saat ia menjabat sebagai Presiden sejak 2004 hingga 2014.
Bahkan, SBY juga memainkan politik terzalimi ketika mengusung anaknya Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2017 silam bersama Sylviana Murni.
Kala itu SBY menyebut Antasari Azhar telah melakukan manuver politik di detik-detik terakhir jelang pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta 2017.
 SBY dan Megawati Soekarnoputri tak pernah harmonis sejak Pilpres 2004. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari). |
SBY mengatakan tindakan Antasari bukan hanya menyudutkan dirinya tapi juga merusak citra anaknya, AHY, yang tengah berjuang untuk menjadi pemimpin di DKI Jakarta.
"Nasib Agus Harimurti Yudhoyono nampaknya sama pada saat saya mengikuti Pemilu Presiden 2004," ujar SBY saat menggelar konferensi pers di Jakarta, 14 Februari 2017.
Kembali ke aksi perusakan atribut Demokrat di Pekanbaru. Itu bukanlah momen pertama SBY tampil terzalimi menjelang Pemilu 2019.
Pada September 2018 silam, SBY muncul di hadapan publik sebagai korban fitnah atas laporan Asia Sentinel yang menyebut dirinya seolah-olah menerima aliran dana dari kasus korupsi Bank Century.
Jokowi juga Pernah MelodramatikPengamat politik dari Universitas Paramadina Toto Sugiarto mengatakan gaya politik SBY dan Demokrat dengan menampilkan diri sebagai pihak terzalimi merupakan upaya untuk menarik perhatian dan simpati publik.
Menurutnya, langkah SBY dan Demokrat mengkapitalisasi aksi vandalisme yang dialami di Pekanbaru telah berhasil membuat partai politik berlambang mercy tersebut menjadi pusat pemberitaan.
"Kekecewaan itu bisa dikapitalisir menjadi keuntungan politik, di mana Demokrat dan SBY jadi pusat pemberitaan," kata Toto saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, Selasa (18/12).
Menurutnya gaya politik terzalimi ini akan berhasil di tengah masyarakat yang berkarakter melodramatik seperti Indonesia. Dia menilai, langkah SBY mengkapitalisasi insiden vandalisme di Pekanbaru juga tepat karena hal tersebut berkaitan dengan atribut partai politik.
"Kasus di Pekanbaru ini saya kira cukup kuat untuk jadi tema politik karena ini slogan simbol partai yang kemudian dirusak," ucap Toto.
Toto mengatakan gaya politik terzalimi seperti ini tidak hanya dilakukan oleh SBY dan Demokrat. Menurutnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Joko Widodo juga pernah mengkapitalisasi isu dan menjadi diri sebagai pihak terzalimi.
Salah satu isu yang dikapitalisasi Jokowi untuk menjadikan dirinya sebagai pihak terzalimi, kata Toto, ialah terkait tuduhan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
"PDIP pernah juga memainkan sebagai partai terzalimi. Jokowi juga bisa kapitalisasi dia dituduh PKI, itu upaya kapitalisasi diri bahwa dia dituduh PKI seolah dia mengadu kepada rakyat," tuturnya.
 Jokowi dinilai pernah juga melakukan gaya politik sebagai korban atau terzalimi. (Biro Pers Setpres). |
Terpisah pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar juga mengamini tampilnya SBY setelah atribut Demokrat dirusak di Pekanbaru merupakan upaya untuk menarik simpati pemilih jelang Pemilu 2019.
Menurutnya, SBY berharap dapat mempengaruhi dan menarik perhatian publik lewat insiden perusakan atribut Demokrat di Pekanbaru itu.
"Saya kira harapan Demokrat dan SBY akan lebih banyak perhatian ke Demokrat sebagai partai dizalimi kekuasaan sehinggga masyarakat taruh simpati," ucap dia.
Namun begitu, menurutnya, gaya politik terzalimi sudah usang di era seperti saat ini. Menurutnya, masyarakat cenderung memilih pemimpin berdasarkan pada hasil kerja dan prestasi saat ini.
Idil menilai gaya politik terzalimi, termasuk yang ditampilkan oleh Jokowi dengan menunjukkan diri sebagai korban fitnah isu PKI, kontraproduktif jelang Pemilu 2019.
"(Isu Jokowi PKI) juga termasuk tuduhan yang sifatnya emosional itu memang terlihat bisa untuk rebut suara masyarakat. Hal semacam ini hal yang sifatnya kontraproduktif," katanya.
Selain itu, dia menambahkan, gaya politik terzalimi juga memberikan pelajaran yang buruk bagi masyarakat karena hanya bermain dalam tatanan emosional, bukan persoalan substantif.
"Masyarakat seharusnya dicerahkan dengan perilaku politik yang sifatnya rasional, program, dan substantif tidak hanya pada yang sifatnya perasaan," tutur Idil.
(mts/osc)