Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Presiden
Jusuf Kalla (JK) menyampaikan permohonan maaf lantaran tak mau ambil risiko menaikkan premi
BPJS Kesehatan demi mengurangi defisit. JK mengatakan hal itu tak lepas dari pengaruh gelaran
pemilihan umum (pemilu) serentak pada April mendatang.
"Saya orang politik, minta maaf juga. Memang kita butuh momen tertentu dalam periode politik yang kebijakannya harus menunggu. Saya berharap jangan ada perubahan," ujar JK saat memberikan sambutan seminar di kantor CSIS Jakarta, Kamis (17/1).
Dari hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperkirakan defisit anggaran lembaga tersebut mencapai Rp10,5 triliun hingga akhir tahun 2018. Defisit ini disebut terjadi akibat ketidakseimbangan antara penerimaan yang berasal dari peserta dan pengeluarannya yang terbilang cukup besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
JK tak menampik salah satu solusi untuk mengurangi defisit adalah dengan menaikkan premi. Namun, ia menegaskan pemerintah akan tetap berupaya menutup defisit yang terbilang besar itu lewat cara lain. Terlebih pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menggelontorkan bantuan sebesar Rp10,5 triliun bagi BPJS Kesehatan pada tahun lalu.
"BPJS minta sekitar Rp15 triliun, Kemenkeu beri Rp10,5 triliun. Itu juga menolong," katanya.
 Jusuf Kalla. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Jika defisit itu tak segera ditanggulangi, JK khawatir akan berdampak pada pelayanan kesehatan bagi rakyat.
"Kalau defisit tidak ditanggulangi maka yang pertama rumah sakit kena, pabrik obat kena, masyarakat juga akan kena. Mana dulu yang kita perbaiki, tanpa
cashflow yang bagus pelayanan rumah sakit akan turun," ucapnya.
Ke depan, lanjut JK, program BPJS Kesehatan harus tetap berjalan karena telah diamanatkan dalam undang-undang. Apalagi BPJS Kesehatan diklaim sebagai asuransi terbesar dengan biaya termurah yang ada di dunia.
JK membandingkan dengan biaya asuransi kesehatan di Vietnam yang preminya mencapai Rp60 ribu. Sementara premi BPJS Kesehatan yang paling rendah ada di kisaran Rp25 ribu.
"Kita sadari dengan premi yang begitu baik untuk rakyat tapi sulit untuk BPJS. Solusinya adalah bagaimana menyesuaikan dengan wajar," tuturnya.
Sebagai catatan, penyesuaian iuran BPJS Kesehatan terakhir kali dilakukan pada 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Melalui beleid itu, iuran peserta kelas I per bulan berubah dari Rp59.500 ke Rp80 ribu, kelas II berubah dari Rp42.500 ke Rp51 ribu, dan kelas III disesuaikan dari Rp25.500 ke Rp30 ribu.
Biaya kesehatan yang meningkat disertai membludaknya kepesertaan ditengarai membuat nilai iuran saat ini terdengar tidak relevan lagi. Sesuai amanat pasal 16i Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, besaran iuran memang harus ditinjau kembali setiap dua tahun.
(pris/kid)