
Imam Istiqlal: Jadi Muslim yang Baik Tak Perlu Mirip Arab
CNN Indonesia | Kamis, 14/02/2019 16:28 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa menjadi umat Islam yang baik tidak harus kearab-araban, dalam artian tidak perlu menjadi seperti orang Arab atau mengikuti budaya Arab. Mengikuti budaya Indonesia juga bisa menjadi umat muslim yang baik.
Nasaruddin mengatakan hal tersebut dalam acara peluncuran buku karya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius di kantor Lemhannas, Jakarta, Kamis (14/2).
"Tidak mesti mirip Arab. Kita bisa menjadi orang Indonesia, orang Jawa, tetapi juga the best muslim," tutur Nasaruddin.
Nasaruddin mengatakan hal itu lantaran merasa risau. Menurutnya, belakangan ini terjadi 'deindonesiasasi' dalam pemahaman keagamaan di Indonesia. Deindonesiasasi yang dimaksud yakni memahami agama tanpa menyesuaikan budaya yang ada di Indonesia.
Menurut Nasaruddin, hal itu tidak seperti di zaman dulu. Dia mengatakan bahwa para pendahulu menyebarkan agama setelah melalui proses penyesuaian dengan budaya Indonesia terlebih dahulu. Dengan kata lain, tidak menyebarkan atau mengajarkan agama secara mutlak seperti asalnya. Baik itu Islam, Katolik, Kristen dan seterusnya.
"Sehingga membuat semua agama bersahabat satu sama lain," ujar Nasaruddin.
Berbeda halnya di masa kini. Nasaruddin menilai saat ini terjadi krisis penyebaran pemahaman agama atau yang dia sebut deindonesiasasi pemahaman keagamaan.
Padahal, kata Nasaruddin, Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan bahwa Dirinya diutus untuk menyempurnakan. Bukan memulai dari nol.
"Sekarang itu kan krisis. Bahkan dengan istilah saya itu, deindonesianisasi pemahaman keagamaan," kata Nasaruddin.
"Kita harus belajar kembali. Nabi Muhammad SAW itu mengatakan bahwa 'Kami diutus hanya untuk menyempurnakan'. Bukan untuk membuldozer yang sudah ada. Bukan dari nol," ujar dia.
Nasaruddin kemudian mengatakan dirinya tidak cemas dengan berkembangnya paham terorisme di Indonesia di kemudian hari. Dia mengaku lebih risau dengan perkembangan paham radikalisme.
Menurutnya, terorisme lebih merupakan spontanitas. Seseorang melakukan tindakan teror lantaran ada perasaan ketidaksenangan yang terakumulasi lalu memuncak. Kemudian mendidih hingga meletup dan melakukan tindakan teror.
Berbeda halnya dengan radikalisme. Menurut Nasaruddin, radikalisme lebih berbahaya karena benar-benar ingin meninggalkan budaya khas Indonesia dalam memahami agama. Akibatnya, tidak ada rasa kebersamaan dengan agama-agama lain.
"Kelompok radikalisme itu ingin mulai dari nol," kata Nasaruddin. (bmw/osc)
Nasaruddin mengatakan hal tersebut dalam acara peluncuran buku karya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius di kantor Lemhannas, Jakarta, Kamis (14/2).
"Tidak mesti mirip Arab. Kita bisa menjadi orang Indonesia, orang Jawa, tetapi juga the best muslim," tutur Nasaruddin.
Nasaruddin mengatakan hal itu lantaran merasa risau. Menurutnya, belakangan ini terjadi 'deindonesiasasi' dalam pemahaman keagamaan di Indonesia. Deindonesiasasi yang dimaksud yakni memahami agama tanpa menyesuaikan budaya yang ada di Indonesia.
Menurut Nasaruddin, hal itu tidak seperti di zaman dulu. Dia mengatakan bahwa para pendahulu menyebarkan agama setelah melalui proses penyesuaian dengan budaya Indonesia terlebih dahulu. Dengan kata lain, tidak menyebarkan atau mengajarkan agama secara mutlak seperti asalnya. Baik itu Islam, Katolik, Kristen dan seterusnya.
"Sehingga membuat semua agama bersahabat satu sama lain," ujar Nasaruddin.
Berbeda halnya di masa kini. Nasaruddin menilai saat ini terjadi krisis penyebaran pemahaman agama atau yang dia sebut deindonesiasasi pemahaman keagamaan.
Padahal, kata Nasaruddin, Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan bahwa Dirinya diutus untuk menyempurnakan. Bukan memulai dari nol.
"Sekarang itu kan krisis. Bahkan dengan istilah saya itu, deindonesianisasi pemahaman keagamaan," kata Nasaruddin.
"Kita harus belajar kembali. Nabi Muhammad SAW itu mengatakan bahwa 'Kami diutus hanya untuk menyempurnakan'. Bukan untuk membuldozer yang sudah ada. Bukan dari nol," ujar dia.
Nasaruddin kemudian mengatakan dirinya tidak cemas dengan berkembangnya paham terorisme di Indonesia di kemudian hari. Dia mengaku lebih risau dengan perkembangan paham radikalisme.
Menurutnya, terorisme lebih merupakan spontanitas. Seseorang melakukan tindakan teror lantaran ada perasaan ketidaksenangan yang terakumulasi lalu memuncak. Kemudian mendidih hingga meletup dan melakukan tindakan teror.
Berbeda halnya dengan radikalisme. Menurut Nasaruddin, radikalisme lebih berbahaya karena benar-benar ingin meninggalkan budaya khas Indonesia dalam memahami agama. Akibatnya, tidak ada rasa kebersamaan dengan agama-agama lain.
"Kelompok radikalisme itu ingin mulai dari nol," kata Nasaruddin. (bmw/osc)
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
BACA JUGA
Jurnalis Gedung Putih Asal RI Dipindahkan karena Cecar Pompeo
Pertama dalam Sejarah, Indonesia Punya Pabrik Tempe di China
Menlu Beberkan Sederet Harapan RI terhadap AS di Tangan Biden
AS Klaim Indonesia Hampir Buka Hubungan dengan Israel
Di Depan Menlu China, Retno Minta Negara Hormati Hukum di LCS
LIHAT SEMUA
Berita Daerah Terbaru
LAINNYA DI DETIKNETWORK
TERPOPULER

Kisah Listyo Sigit Masa SMA: Tolak Ajakan Bolos, Kerja Senyap
Nasional • 48 menit yang lalu
Novel dan Febri Kritik Isu Taliban KPK di Tengah Kasus Bansos
Nasional 25 menit yang lalu
Gempa Bumi Dangkal M 5,1 Guncang Wamena Papua
Nasional 1 jam yang lalu